Kosong.
Itu rumah kontrakan. Di dalam sebuah gang. Sederhana sekali. “Sudah setahun pindah. Tanpa ada yang dipamiti,” ujar tetangga rumahnyi.
Sheren juga pernah tampil di koran. Ia menceritakan kiat-kiat hidup kreatif. Termasuk menceritakan mengapa dia menciptakan gerak teatrikal dengan judul “Show My Transformation”. Yakni teater gerak yang menggambarkan perubahan ulat menjadi kepompong dan akhirnya jadi kupu-kupu indah.
Keluarga Julianto sendiri lagi mengusahakan kembali tahanan luar. Tiga anak Julianto, yang sekolah di luar negeri, pulang semua.
Selama Julianto tidak aktif, kepemimpinan di Selamat Pagi Indonesia dipegang Sendy Fransiscus Tantono.
Sendy adalah ketua yayasan di situ. Ia juga dosen. Memang SPI sudah pula mendirikan perguruan tinggi. Namanya: Sekolah Tinggi Kewirausahaan Selamat Pagi Indonesia (STKSPI). Sekolah tinggi ini diresmikan empat tahun lalu. Yang meresmikan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Moh Nasir.
Sebenarnya sudah lama Sendy memegang posisi pimpinan sehari-hari. Julianto sudah lebih banyak mengurus penyediaan dana sekolah. Sendy sudah mampu dilepas. Ia lulusan S1 Petra Surabaya. Lalu melanjutkan S2 di Thailand. Sedang doktornya diperoleh dari Austria.
Belakangan Julianto hanya mengoordinasikan donatur sekolah. Parah. Akibat peristiwa itu beberapa donator telah mundur.
Julianto memang harus rajin mencari dana. Sekolah ini khusus untuk anak yatim piatu, yatim saja atau piatu saja. Dari seluruh Indonesia. Tanpa pandang suku dan agama. Gratis.
Anak-anak yang ditampung itu tidak harus pintar. “Anak pintar sudah banyak yang memperhatikan,” ujar Jeffry mengutip kata-kata Julianto.
Masih ada pengaduan lain. Dari Sheren juga: Julianto mengeksploitasi anak untuk bisnis. Lalu satu lagi di Polres Batu: saya belum tahu siapa yang mengadu dan soal apa.
Masih adakah pagi di Batu? (Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Berjudul Bechi Tidur
Mirza Mirwan
Ketika membaca Disway edisi hari ini sebelum Subuh tadi saya tersenyum geli. Pertama, karena si penulis yang alumnus ITB 1985 menuliskan namanya dengan aksara Jawa — Bung Budi Utomo di bawah telah mengalihaksarakan, tetapi kurang “r”, NURSETO ARDI PUTRANTO (bukan Adiputranto). Kedua, Nurseto sepertinya tidak biasa membaca Quran — kalau membaca hanya terjemahan secara acak. Kalau biasa membaca Quran, pasti tahu bahwa secara eksplisit disebutkan 300 tahun, malah lebih 9 tahun (ayat 25). Justru jumlah 7 orang itu masih belum jelas — ayat 22 menyebut ada yang bilang 3, 5, dan 7. Ketiga, Nurseto menganalisis Quran dengan perspektif science, tetapi pengetahuan agamanya masih tingkat ibtidaiyah. Allahyarham Profesor Baiquni saja dulu analisisnya tentang “penciptaan bumi dalam enam hari” saja sejalan dengan Quran — enam hari artinya enam masa/era. Tetapi, begitulah. Kebetulan saya pernah membaca tulisan Nurseto, entah di mana, yang meragukan bahwa Ka’bah diserang pasukan Gajah. Alasannya tak mungkin ada gajah di Yaman — setidaknya itulah yang saya ingat. Apa yang sebelum Subuh terpikir untuk saya tulis ternyata sudah ditulis Bung Ahmad Zuhri dan Impostor Among Us. Ilmu manusia, Profesor Doktor dalam bidang science sekalipun, hanya setetes air di laut kalau dibandingkan dengan ilmu Tuhan. Kalau saya menjadi Pak DI, saya tak akan memuat tulisan Nurseto itu.