Kasus Dugaan Pengambilan Air Tanah Secara Ilegal di Cimanggung Harus Diproses Hukum

BANDUNG – Kasus dugaan pengambilan air tanah secara illegal yang di lakukan PT Duta Family Trieutama mendapat sorotan dari berbagai kalangan.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah mengatakan, kasus ini harus segera diselesaikan dan mendapat kepastian hukum. Sebab jika tidak akan menghilangkan kepercayaan kalangan investor.

Dia menilai, kasus ini memang tidak memiliki dampak secara langsung. Namun, kasus ini mengindikasikan bahwa regulasi yang dibuat masih law enforcement.

‘’Kita harus tahu bahwa rendahnya law enforcement atas regulasi dapat menurunkan kepercayaan investor,’’ ujar Piter dalam keterangannya, Jumat, (24/6).

Jika sebuat regulasi atau aturan masih bisa dilanggar, maka akan melemahjan daya saing dan turunnya nilai kepercayaan di kalangan investor.

Untuk itu, kasus dugaan pengambilan air tanah ini harus diproses secara hukum. Sehingga, akan berdampak pada peningkatan Law enfrorcement.

“Penegak hukum harus diperkuat. Kepolisian, kehakiman, kejaksaan, itu pilar-pilar hukum kita yang ternyata tidak cukup kuat,” kata dia.

Dugaan kasus pengambilan air tanah yang dilakukan oleh PT Duta Family Trieutama harus dibawa ke ranah hukum. Sehingga pada prosesnya nanti aka nada pembuktian di pengadilan.

Untuk pemanfaatan air tanah sendiri di Indonesia sudah ada regulasi yang mengaturnya. Praktik pengambilan sumber daya air untuk kepentingan komersil, sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2019.

“Sudah ada ada regulasinya. Pengambilan sumber daya air tanah secara komersial harus ada izin dan ada pajaknya. Maka jika tanpa izin, sudah barang tentu ada sanksi yang wajib dijatuhkan pada pelaku,” ujar Piter.

Dalam UU Nomor 17 tahun 2019 Pasal 49 ayat (2), misalnya, penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha harus memiliki izin.

Dan jika tidak memiliki izin namun sengaja melakukan kegiatan seperti pasal 49 ayat (2), maka maka berdasarkan pasal 70, dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun.

Selain itu, juga dikenakan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp5 miliar.

Jika kegiatan yang dilakukan karena kelalaian, maka berdasarkan pasal 73, dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga bulan dan paling lama enam tahun. Selain itu, juga dikenakan denda paling sedikit Rp300 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan