BANDUNG – Kepala Divisi Riset dan Kampanye, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Heri Pramono mengatakan, ada kerancuan dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) oleh pengadilan atas sengketa lahan warga Dago Elos menghadapi penggugat, keluarga Muller.
Menurut Heri, putusan PK tersebut masih jauh dari rasa keadilan. Di antaranya putusan ini cenderung befsifat inferior. Lantaran isinya berkebalikan dengan kemenangan warga sebelumnya dalam putusan kasasi.
“Bukan hanya terhadap tidak mengakui hak-hak atas putusan, tetapi dalam putusan PK tersebut juga (isinya) malah sebaliknya,” ungkap Heri kepada Jabar Ekspres.
Sebelumnya pada tahun 2020, warga menang atas gugatan ahli waris keluarga Muller yang mengklaim lahan seluas 6,9 hektar.
Selesai dengan sebuah kemenangan bagi warga berdasarkan putusan kasasi Nomor 934.K/Pdt/2019.
Hakim Mahkamah Agung waktu pada saat itu mempertimbangkan, Eigondom Vervoding atas nama ‘George Henrik Muller’ sudah berakhir. Lantaran paling lambat dilakukan pengajuan konversi seharusnya pada 24 September 1980.
Sementara, berselang dua tahun kemudian, MA malah mengeluarkan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 109/PK/Pdt/2022.
Dalam putusan PK tersebut, Heri Hermawan Muller yang mengklaim hak atas tanah warga, ditetapkan oleh hakim bahwa masih berhak atas kepemilikan objek tanah seluas 6,9 hektar di Dago Elos.
Sontak hal tersebut mendapatkan perlawanan dari warga, “Ada kerancuan-kerancuan dalam putusan PK itu sendiri, yang dimana putusan kasasi itu mengatakan bahwa sudah berakhirnya masa eigondom verponding dan berstatus sebagai tanah negara,” katanya.
Tetapi bagaimana mungkin, dalam putusan (PK), warga dianggap melakukan perbuatan melawan hukum di atas tanah itu sendiri. Ini, kan, yang rancu,” pungkasnya. (zar)