Kenali Bedanya Orang Toxic Productivity dengan Produktif

Jabarekspres.com – Menjadi produktif dalam segala aktivitas memang baik, namun jika berlebihan akan berubah menjadi Toxic Productivity. Berusaha untuk terus-menerus menjadi produktif dengan melakukan banyak hal sekaligus dalam satu hari lama-lama bisa membuat burnout atau stres berat. Akibatnya, berisiko mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi.

Salah satu psikolog Riliv, Graheta Rara Purwasono, M.Psi, mengatakan toxic productivity itu memunculkan rasa bersalah kalau tidak mengerjakan sesuatu.

“Ujung-ujungnya, mengalami burnout yang membahayakan kesehatan, dan itu harus dihindari,” ujarnya di kutip dari republika.

Pada akhirnya, tidak ada quality time bersama teman dan keluarga, apalagi, waktu untuk me-time karena Anda terlalu sibuk untuk bekerja setiap saat.

Toxic productivity sebenarnya adalah istilah lain untuk ‘workaholic’ atau kecanduan kerja. Istilah tersebut untuk menggambarkan keinginan tidak sehat yang dimiliki seseorang untuk menjadi produktif setiap saat dengan segala cara. Orang yang mengalaminya merasa butuh untuk bekerja lebih keras, baik di tempat kerja maupun di rumah, bahkan ketika mereka sebenarnya tidak perlu melakukan hal itu.

Keinginan untuk menjadi produktif tidak berhenti begitu pekerjaan selesai. Setelah pengidap toxic productivity selesai melakukan suatu pekerjaan atau proyek, mereka mungkin akan merasa bersalah karena tidak mengerjakannya dengan lebih baik atau lebih banyak. Bagi pengidap, tidak pernah ada kata cukup.

Simone Milasas, pelatih bisnis dan penulis Joy of Business mengungkapkan bahwa toxic productivity akan membuat seseorang merasa gagal ketika ia tidak bisa terus-menerus menjadi produktif. Pengidap lebih berfokus pada apa yang belum ia lakukan ketimbang melihat apa saja yang sudah ia kerjakan atau capai.

Kathryn Esquer, seorang psikolog dan pendiri Jaringan Teleterapis mengungkapkan bahwa banyak pekerja yang sudah jatuh ke dalam pola toxic productivity selama masa pandemi. Hal itu karena pembatasan aktivitas dan ruang gerak membuat mereka memiliki waktu luang yang banyak yang belum pernah dimiliki sebelumnya. Namun, alih-alih bermalas-malasan, mereka yang beruntung yang masih memiliki pekerjaan malah bekerja lebih keras agar merasa layak, berguna, dan memiliki kendali.

Tinggalkan Balasan