Produksi tersebut, lanjut Adang, dilakukan selama hampir satu bulan lebih. Istilah kewalahan digunakan bukan lagi sebagai kata kiasan. Begadang tiap hari.
Kendati demikian, kondisi perlahan berjalan menjauh dari situasi yang mengerikan. “Alhamdulillah, tahun ini berangsur membaik. Produksi pesanan bermunculan. Beberapa minggu lalu sempat mengerjakan 20 unit-an. Ada pesanan juga untuk ke luar negeri, Swedia dan Lebanon.”
“Ramai juga pesanan dari Kodam, lalu acara Polda. Sampai mengambil 10 unit diangkut memakai mobil dalmas. Bukan cuma itu, mereka juga latihan di sini,” sambungnya.
Pemain jadi Perajin
Perjalanan untuk sampai ditahap menjadi seorang ‘finishing’ angklung di Saung Angklung Udjo, dilakoni Olip, sapaan akrabnya, dengan penuh kesabaran. Tekun menjalani tiap tahapan.
Bermula pada tahun 2000-an, ia masih seorang pemain angklung. Sibuk malang melintang menampilkan keahliannya di beberapa pertunjukkan, serta berbagai panggung kegiatan seni.
“Lalu, beberapa tahun kemudian jadi perajin angklung. Mulai dari menali dan memperkuat bagian rangka angklung, membersihkan tabung angklung. Sampai terakhir, saat ini di bagian finishing angklung. Memastikan nada angklung tidak fals. Kesulitannya, menyetel suara angklung supaya pas,” jelasnya.
Sambil berbicara, ia memeragakan bagaimana cara membetulkan nada yang tidak cocok. Angklung yang sudah di tangan, ia gerakkan hingga berbunyi suara.
Selanjutnya, alat penangkap nada akan menilai kecocokannya. Alat yang dipakai hampir serupa dengan penyetel nada untuk instrumen gitar.
“Sebelum terjun ke dunia angklung, saya berkecimpung di seni. Aktif dalam sanggar-sanggar kesenian. Terlebih saya pun bogoh (suka) ke dunia musik. Memang dari kecil senang main pencak (silat) dan kendangan. Besar di lingkungan kesenian,” katanya.
Masa depan budaya
Anak muda sekarang, kata Adang, ternyata masih senang dengan kesenian. Meski sedikit, terkadang dikolaborasikan dengan seni modern.
“Sayangnya, penerus (perajin kesenian) sudah kurang. Namun saya percaya apabila sudah memainkan (angklung), pasti bakal tumbuh sedikit kecintaannya,” sesalnya.
Lantaran pada masa pembuatannya, kata Adang, tidak bisa asal membuat. “Ada filosofi dari Bapak Daeng; ikhlas, cerdas, dan tuntas. Ibaratnya, enggak mungkin ada tukang cendol bisa disuruh membuat ulekan. Jadi, setiap hal ada tolok ukur.”