Kemudian organisasi inti tersebut berkembang menjadi ‘organisasi inti plus’ dengan para alumni sekolah turut menjadi anggota. Para alumni tersebut sebelumnya juga terlibat aksi klitih saat masih sekolah.
Setelah kelulusan, mereka masih berpartisipasi dalam kelompok yang berisi adik-adik kelas mereka. Para alumni berperan untuk mengkader dan mendidik anggota geng klitih.
Kegiatan mendidik dan mengkader tersebut dapat di manfaatkan oleh kelompok lain, sehingga muncul ‘organisasi inti plus plus’ yang turut melibatkan kelompok preman yang melakukan rekrutmen dan seleksi. Sejak saat itu, anggota geng klitih dan musuh yang di pilih tidak terbatas pada pelajar saja.
Sasaran korban klitih ternyata tidak sembarang orang. Geng klitih menetapkan aturan spesifik dan tidak akan menyerang korban yang sekiranya tidak bisa di jadikan musuh.
“Mereka punya aturan main. Mereka tidak akan menyerang perempuan, mereka tidak akan menyerang orang tua. Mereka tidak akan menyerang laki-laki dan perempuan yang sedang berboncengan dan mereka tidak akan merampas harta korban.” ujar Drs. Soeprapto, S.U.
Klitih dapat di kategorikan sebagai tindak pidana kekerasan yang di atur dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan dapat di kategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan yang di atur dalam Pasal 358 KUHP. Jika pelaku klitih merupakan anak di bawah umur, maka berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam aturan tersebut, anak di bawah umur adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun.