Adapula yang lebih menjengkelkan daripada bullying adalah self-judging, di mana seseorang mengaku-ngaku mengidap salah satu mental illness melalui hasil tes yang tersebar di internet.
Tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja masyarakat Indonesia khususnya remaja masa kini condong memandang sesuatu hanya sebelah mata saja.
Sehingga hal tersebut mengakibatkan seseorang menjadi “pencari perhatian” atau “Attention Seeker” dengan memberi dirinya label penderita mental illness, padahal belum tentu hal tersebut dirasakan sebelum ia berkonsultasi dengan seorang ahli (psikiater).
Manusia terkadang memang sulit untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan, apa yang menjadi beban pikirannya dan apa yang membuatnya menyerah dalam menjalani hidup.
Khususnya dalam masyarakat Indonesia yang cenderung membuat si penderita kesulitan untuk mengutarakan apa yang di rasa, takut di cap lebay.
Dan di akhir pembicaraan akan selalu ada kalimat “yaudah sabar aja sih”, “yaudahlah gausah dipikirin, gitu aja repot.”
Hal ini yang membuat manusia kerap kali menunjukkan apa yang di rasakan melalui behavior atau perilaku untuk menarik perhatian dan kepedulian dari sesamanya.
Namun kita tidak dapat menyalahkan media, di sini kita perlu yang namanya memahami literasi media dan memahami satu sama lainnya. Saling menghargai perbedaan dan menghargai pendapat satu sama lainnya.
Maka dari itu, rasa simpati dan empati menjadi sangat di perlukan dalam kehidupan sosial. Boleh untuk merasa egois namun harus di ingat, keegoisan perlu di tanam di tempat yang tepat, mengkritik pun di perbolehkan.
Namun harus kritik yang bersifat konstruktif. Dan mencurahkan apa yang di pendam sebenarnya tidak masalah lho, tetapi harus dengan orang yang tepat ya! Agar apa yang ingin di sampaikan dapat di pahami dan membuatmu merasa lega.