PUTRAJAYA – Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob mengatakan telah menggunakan Bahasa Melayu sepanjang kunjungan resminya beberapa negara Asean, yakni ke Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Thailand dan kunjungan ke Vietnam dalam rangka memartabatkan bahasa tersebut.
PM Malaysia mengemukakan hal itu di parlemen, Rabu (23/3), menjawab pertanyaan senator Vell Paari tentang usaha pemerintah dalam memartabatkan bahasa Melayu dalam urusan diplomatik.
“Bahasa Melayu mempunyai keunikan dan kelebihannya tersendiri, khususnya dalam kalangan negara ASEAN. Selain Malaysia, beberapa negara jiran seperti Indonesia, Brunei Darussalam, Thailand (wilayah selatan), Filipina (selatan) serta di sebagian Kamboja turut menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar,” katanya.
Saat ini, ujar dia, hanya empat dari 10 negara ASEAN yang menggunakan bahasa Inggris dalam acara-acara resmi di tingkat internasional.
Sedangkan enam negara lainnya menggunakan bahasa sendiri dalam urusan resmi masing-masing dan perlu diterjemahkan.
“Saya berkeyakinan bahwa suatu hari nanti, bahasa Melayu boleh dijadikan sebagai salah satu bahasa resmi ASEAN. Masalah ini mungkin bisa diperbincangkan dengan pemimpin ASEAN pada masa mendatang,” katanya.
Ismail mengaku telah meminta supaya Kementerian Luar Negeri menyediakan nota percakapan serta dokumen berkaitan dalam Bahasa Melayu untuk rujukan dirinya apabila mengadakan lawatan resmi ke luar negeri.
“Kita tidak perlu berasa malu untuk menggunakan Bahasa Melayu di tingkat internasional. Usaha memartabatkan bahasa Melayu ini juga searah dengan Kerangka Dasar Luar Negeri Malaysia yang telah diresmikan oleh pemerintah pada 7 Desember 2021, yaitu diplomasi kebudayaan yang termasuk di dalamnya elemen menginternasionalkan Bahasa Melayu di persada dunia,” katanya.
Dia mengatakan usaha ini akan diteruskan dalam pertemuan dan persidangan internasional termasuk pertemuan bilateral baik di dalam maupun di luar negeri mengikut kesesuaian. Baca Juga: Ini Tujuh Negara yang Ikuti Kongres Bahasa Melayu di Batam
“Pemerintah juga akan mengubah Undang-Undang Dewan Bahasa dan Pustaka 1959 (DBP) sebagai langkah memartabatkan Bahasa Melayu, sekaligus menjadikan ia sebagai bahasa ilmu. Perubahan ini akan membolehkan pihak DBP mengambil tindakan terhadap pelanggaran bahasa Melayu di semua peringkat baik daerah, negeri (negara bagian) maupun pemerintah pusat,” katanya. (JPNN-red)