Namun, menurutnya, permasalahan warga itu yakni menyoal tempat baru yang bakal mereka huni selanjutnya.
“Mesti dipikirkan bagaimana relokasi mereka. Kami minta Pemerintah Kota Bandung memperhatikan nasib mereka yang tergusur,” ucapnya.
Salah seorang warga, Nani Sukini, 52, mengaku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi menghadapi penertiban bangunan liar ini. Meski, tentunya, bakal sulit dilupakan: perasaan dirinya sepanjang hidup tinggal di bantaran sungai.
“Saya sudah sejak lahir tinggal di sini (bantaran sungai Cikapundung Kolot). Mau gimana lagi, saya mah pasrah sama Allah,” katanya singkat.
Memangnya, tanyanya, apa yang ingin diharapkan dari seorang pedagang gorengan, memiliki anak satu yang tinggal di pesantren, dan suami yang bekerja sebagai buruh bangunan?
Penertiban bangli, sebenarnya sudah terlihat di seberang tempat mereka tinggal. Bahkan semestinya jadi ‘warning’ tatkala dialami warga Kelurahan Binong pada tahun lalu.
Meski begitu, orang-orang Gumuruh tetap tidak menduga giliran mereka untuk ditertibkan bakal datang secepat ini. Sahid Suparno, 40, satu diantara yang tidak menyangka hal tersebut.
“Can dipake-pake acan (Belum dipakai sama sekali),” ujarnya kepada wartawan Jabar Ekspres sambil memperlihatkan bangunan rumahnya yang baru saja selesai berdiri.
Ironi adalah Sahid. Dia mantan warga Kelurahan Binong yang sempat digusur pula, tetapi dia sedikit santai menghadapinya. Pasalnya, selagi terkena penggusuran tersebut, dia sudah punya cadangan hunian.
Semula, bangunan itu bakal dia kontrakkan. Itu tujuan awalnya. Mengingat baru saja digusur, dia lantas memilih untuk menghuni rumah baru tersebut.
Namun, apa daya. Disaat rampung, bangunan itu malah menjadi ironi. Berdiri di Kelurahan Gumuruh, bangunan rumah yang baru jadi itu ternyata juga berada di atas lahan pemerintah.
Begitulah memang. Betapa klise hidup ini. Hidup tak selamanya berjalan mulus. Terkadang mujur, terkadang yang lain: tergerus kena gusur dua kali. (zar)