Sajak-sajak penyair yang disebut bermata elang itu akan membawa kita pada situasi dan kondisi Indonesia di zaman Orde Baru. Rendra tidak menulis sajak dengan “kata-kata indah” seperti yang selalu kita sematkan pada sajak itu sendiri. Ia justru menulis sajak dengan kata-kata yang lugas, ungkapan-ungkapan langsung dan telanjang.
Misalnya, dalam sajak berjudul “Sajak Sebatang Lisong”, Rendra menjadikan sajak sebagai media kritik tegas terhadap rezim Orde Baru lewat penggambaran-penggambaran kemelaratan dan penderitaan rakyat.
Sang narator dalam sajak tersebut lantang menyuarakan ketidakpuasannya terhadap realita di sekitar. Ia pun berseru langsung agar kita sebagai pembaca terlibat dalam perbaikan kehidupan bangsa: “Kita mesti keluar ke jalan raya/keluar ke desa-desa/mencatat sendiri semua gejala/dan menghayati persoalan yang nyata”.
Di stanza akhir sajak tersebut, Rendra memberikan kita pemahaman lain mengenai apa itu puisi sebagai suatu bentuk kesenian. Baginya, puisi harus turut ikut berperan untuk memutus “derita lingkungan” dan mampu memecahkan “masalah kehidupan”.
Contoh-contoh di atas semestinya membuktikan bahwa puisi tidak sebatas kopi, rintik gerimis, apa lagi gombal-gombalan.