Oknum Polisi Hingga Pemilik Ponpes Jadi Pemerkosa Bikin Geram KemenPPPA

Jabarekspres.comKemenPPPA ikut menyoroti adanya kasus pemerkosaan terhadap anak yang menyeret oknum polisi hingga pemilik pondok pesantren (ponpes).

Geram dengan tindakan tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pun pihaknya telah menyiapkan berbagai upaya.

Sebagai informasi, publik sempat dibuat kesal dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan oknum polisi terhadap anak usia 13 tahun di Gowa, Sulsel.

Sebelumnya, kasus yang tak kalah menggemparkan juga terjadi di Kota Bandung ada 13 santriwati menjadi korban. Pasalnya, si pemerkosa merupakan oknum pemilik pondok pesantren (ponpes).

Selain itu, ada juga kasus lain yang menjadi sorotan KemenPPPA terkait kekerasan seksual yang dilakukan seorang ayah terhadap anaknya di Depok.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar mengatakan untuk menangani beragam kasus salah satunya yang menyeret oknum polisi jajarannya selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

“Kami mendiskusikan hal-hal yang perlu diwaspadai di proses peradilan tingkat pertama. Dalam hal ini, pasal yang digunakan sejak proses penyidikan sudah harus tepat,” katanya.

Nahar mengatakan, rujukan utama dalam mengeksekusi kejahatan kekerasan seksual pada anak di Indonesia adalah sesuai dengan Undang-undang (UU).

Yakni, No 17 tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi UU.

“Dalam UU tersebut, ancaman pidana yang paling tinggi adalah pidana mati apabila kasus masuk ke dalam kategori persetubuhan dan korbannya lebih dari satu orang,” ucapnya.

Di samping itu, lanjut Nahar, ada pemberatan sepertiga hukuman untuk kasus-kasus tertentu.

“Misalnya kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti orangtua, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, pengasuh, dan wali,” tutur Nahar.

Di samping penetapan hukuman pidana maksimal dan hukuman tambahan terhadap pelaku, Nahar menegaskan korban memiliki hak untuk menerima ganti rugi atau restitusi.

“Jangan sampai pidana pokoknya dilaksanakan, tetapi dendanya tidak dibayar dan digantikan dengan melaksanakan subsider,” ucapnya.

“Saya pikir persoalannya belum selesai karena ada korban akibat kejadian kekerasan seksual tersebut,” katanya menambahkan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan