Isa mengaku bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) tidak pernah memberi bantuan. Termasuk dinas yang memayungi Taman Budaya. Jadi, kini para seniman mesti mandiri.
“Ini juga perjuangan para seniman. Tiga event besar, pameran seni rupa se-Jabar bergilir yang pernah digelar di galeri ini pun selama ini pakai dana udunan (pribadi),” ungkapnya.
“Dalam pameran, kami juga sambil menyusun data base, seniman Jawa Barat seperti apa. Tentunya selain blusukan langsung ke daerah-daerah memantau perkembangan seni rupa. Jaringan itu dibangun,” tambahnya.
Bahkan, kata Isa, muncul keinginan menjadikan galeri tersebut sebagai garnas (garda nasional) Jabar. Hal demikian diusung lantaran para seniman di daerah tidak memiliki akses.
“Semacam kurangnya galeri-galeri pameran di daerah. Tak seperti di Bandung yang pameran dan galeri cukup banyak. Apalagi buat kawan2 di luar Bandung, mungkin baru sampai pintu galeri saja, tempatnya sudah keburu tutup,” pungkasnya.
Pada akhir wawancara, Ia yang pernah menjadi kurator di Taman Budaya pada tahun 1997 sampai 2006 ini, sempat menunjukkan karya seni rupa miliknya.
“Itu,” katanya seraya mengarahkan telunjuknya ke sebuah kanvas polos dibalut warna merah muda. Judulnya: Seni Rupa Cinta Sejatiku. Tak ada gurat bekas coret kuas dan cat warna di sana. Hanya merah muda. (zar)