JAKARTA – Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebut, tidak semua produsen minyak goreng bisa mendapatkan harga baku sesuai domestic price obligation (DPO) yang ditetapkan pemerintah. Kondisi itu membuat produsen dipusingkan dengan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET).
“Pemerintah harus ’mengawinkan’ semua produsen minyak goreng ini dengan semua produsen CPO yang punya kewajiban menyisihkan 20 persen volume ekspor,” kata Yeka.
Pihaknya meminta pemerintah memastikan produsen migor mendapatkan pasokan CPO sesuai harga DPO. Terutama yang akan diolah untuk migor jenis curah yang banyak dibutuhkan usaha kecil dan mikro serta rumah tangga berpendapatan rendah.
“Jenis migor itu perlu dipastikan ketersediaannya,” ujarnya.
Yeka mendesak pemerintah segera mengambil langkah strategis agar kelangkaan migor di tengah masyarakat bisa teratasi. Terlebih, sebentar lagi memasuki bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri.
“Ombudsman juga akan terus melakukan pemantauan harga minyak goreng hingga stabil sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman menyatakan, volume ekspor CPO mengalami penurunan pada Januari dan Februari 2022.
“Volume ekspor CPO Januari hingga 24 Februari ini hanya 4,04 juta metrik ton dengan pendapatan Rp 6,22 triliun,” ungkap Eddy.
Eddy menambahkan soal kelangkaan migor sesuai HET itu terjadi lantaran masa penyesuaian pasar terhadap kebijakan intervensi pemerintah saat ini. “Saat ini sedang masa transisi di mana produsen mencari bahan baku yang sesuai DPO untuk memproduksi minyak goreng HET,” jelasnya.
Menurutnya, pemerintah perlu mempertemukan produsen migor dengan produsen CPO sesuai harga DPO. Pun, diperlukan penyiapan rantai pasok migor HET. Misalnya, dengan melibatkan Perum Bulog dalam hal distribusi migor HET hingga masyarakat bawah. (jawapos/ran)