Harmonisasi Antara Agama dan Budaya

Inilah yang telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga melalui Wayang Kulit dan Suluk, pada Abad 15-16 Masehi. Sunan Kalijaga terkenal dengan kesan yang sinkretis saat berdakwah. Beliau percaya bahwa jika Islam sudah dipahami dengan benar maka dengan sendirinya semua kebiasaan lama akan hilang. Maka itu tidak mengherankan beliau banyak menggunakan wayang, gamelan, suluk, seni ukir dan lain lain sebagai medium dakwah.

Sunan Kalijaga mampu membaca rasa manusia, dan menyentuhnya dengan hati, menyamakan frekuensi dengan masyarakat, merubah budaya dengan strategi dakwah yang menyentuh sanubari umat, tidak menghujat dan tidak men-judge.

Beliau menyadari betul kalau kebiasaan masyarakat langsung di vonis salah, akan mendapatkan resistensi, sehingga dakwah akan gagal. Nilai-Nilai dakwah adalah pesan yang berisi intisari ajaran agama Islam yang meliputi aqidah, syariah, dan akhlak yang harus disampaikan kepada seluruh umat manusia. Dalam proses berdakwah seorang da’i harus menguasai pengetahuan tentang kondisi objek dakwahnya.

Oleh karena itu, Sunan kalijaga mencoba mengenali dan mendalami budaya, sampai beliau dikatakan sebagai ahli budaya. Dari tangannya lahir banyak karya seni yang ditujukan untuk berdakwah misalnya lagu lir-ilir, Gong Syahadatan untuk acara Sekatenan (maulid Nabi), pencipta wayang kulit dengan medium kulit kambing dan masih banyak lagi lainnya.

Wayang merupakan salah satu media dakwah yang sukses pada masa Sunan Kalijaga. Kesuksesan beliau karena sangat pandai bergaul disegala lapisan masyarakat dan toleransinya yang sangat tinggi. Sunan Kalijaga sangat berjasa bagi perkembangan agama Islam dan perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia, terutama kebudayaan wayang. Sunan Kalijaga menggunakan wayang untuk mengumpulkan masyarakat Jawa dan menyisipkan pesan-pesan Islam di didalam pagelarannya.

Hal yang paling esensial dari wayang, ada senjata yang pilih tanding, yang mampu mengalahkan ilmu-ilmu manusia, yaitu jamus layang kalimasada, yang mengandung makna kalimat shahadat, yang menunjukkan jatidiri keislaman seseorang. Ada pula tokoh-tokoh pewayangan yang dijadikan alat untuk menyampaikan pesan-pesan agama, diantaranya semar, cepot, dawala, dan gareng. Ada juga tokoh-tokoh antagonis, yang diciptakan untuk melambangkan kejelekkan, seperti Dorna, Sangkuni, dan lain-lain, dibuat untuk mempertontonkan perilaku salah, yang tidak boleh diikuti manusia.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan