Kewajiban Seorang Ayah Dalam Agama Islam

Tugasnya yang lain ialah, memberi nama yang baik kepada anaknya, jika sudah dewasa, memilihkan istri atau suami dari keturunan orang-orang yang berbudi pekerti baik dan saleh, agar menjadi ibu dan ayah yang diberkati kepada anaknya kelak.

Rasulullah Saw. telah bersabda, “Tercatat di dalam Kitab Taurat, “Barangsiapa mempunyai anak perempuan yang telah mencapai usia dua belas tahun, lalu ia tidak segera mengawinkannya kemudian anak perempuan tersebut melakukan suatu perbuatan dosa, maka dosanya ditanggung oleh dia.” (HR. Baihaqi melalui Anas r.a.).

Yang dimaksud dengan usia dua belas tahun ialah bukan batasannya, melainkan berkaitan dengan kedewasaannya. Barang siapa mempunyai anak perempuan yang telah mencapai usia cukup untuk nikah. Lalu tidak segera dinikahkan, maka dialah yang menanggung dosanya apabila anak perempuannya melalukan perbuatan dosa. Yang dimaksud dengan dosa dalam hal ini ialah dosa yang berkaitan dengan zina dan yang terkait dengannya.

Rasulullah Saw. telah bersabda, “Kewajiban seorang ayah terhadap anaknya, hendaknya ia memberi nama yang baik dan mendidiknya dengan baik; hendaknya mengajarkan menulis, berenang dan memanah; hendaknya tidak memberikan nafkah kecuali rezeki yang halal; dan hendaknya menikahkannya apabila usianya telah cukup.” (HR. Hakim).

Tugasnya lagi ialah, hendaklah seorang ayah harus berlaku adil dalam pemberiannya kepada anak-anaknya. Tidak boleh melebihkan seorang atas lainnya, karena membedakan kasih sayang dan mengikuti kehendak hawa nafsu sendiri. Tugas seorang kepala rumah tangga, ia harus berlaku adil dan sadar terhadap orang-orang yang berada di bawah tanggungjawabnya. Tidak menganiaya dan menzhalimi mereka, tidak lalai dan menyia-nyiakan mereka.

Rasulullah Saw. telah bersabda, “Bertaqwalah kalian kepada Allah, dan berlaku adillah di antara anak-anak kalian.” (HR. an-Nu’man).

Melalui hadits ini Nabi Saw. menganjurkan agar berbuat adil di antara sesama anak dalam segala hal, karena sesungguhnya apabila seseorang tidak berlaku adil di antara sesama anaknya, berarti ia mulai menanamkan bibit perpecahan dan permusuhan di antara sesama mereka. Apabila perpecahan dan permusuhan tumbuh subur di antara sesama saudara, maka terputuslah hubungan silaturrahmi di antara mereka, padahal syariat Islam mengajarkan agar hubungan silaturrahmi dipelihara, bahkan hal ini disejajarkan dengan iman, seperti yang diungkapkan oleh hadits lain yang mengatakan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia menghubungkan silaturrahmi.”

Tinggalkan Balasan