Perilaku Arteria Dahlan, dalam pandangan Yayat Hendayana, adalah arogansi (PR, 20/1/22). Bahkan ketika ketika diminta untuk minta maaf, dia malah tidak bergeming, selain mempersilahkan untuk mengadukannya ke Dewan kehormatan, juga mengatakan tidak mau ada Sunda Empire, sebuah jawaban “halu” yang seakan-akan tidak mengeyam lembaga pendidikan.
Ada istilah, ketika seseorang berbohong, maka akan diikuti oleh kebohongan-kebohongan lainnya, maka boleh jadi dalam kasus ini, ketika seseorang membuat suatu pernyataan kontroversial, akan diikuti oleh pernyataan-pernyataan kontroversial lainnya.
Nu nuju palid ka candak caah, naon nu tiasa dipuntangan, pasti dirawel, sanaos mung sakadar dadaunan, sareng anjeuna ge yakin moal tiasa nulungan, tapi tetep dilakukeun.
Jawaban pastinya sabulang bentor, bahkan menyebut hal-hal yang gak kaitannya, seperti yang dilakukan oleh Arteria dengan menyebut Sunda Empire?
Kalau dilihat dari jejak digital, Arteria Dahlan, bukan hanya kali ini membuat kegaduhan, yang paling “tidak sopan” adalah perlakuan dia terhadap Prof. Emil Salim, tidak sedikitpun rasa sopan santunnya, terhadap orang tua, dan sebagai karmanya, ibunya dimaki-maki orang di Bandara, bahkan seorang budayawan asal minang, menyebut bahwa kakek dari ibunya yang dimaki-maki tersebut, adalah pendiri PKI Sumatera Barat.
Namun dibalik kemarahan masyarakat Sunda terhadap pernyataan Arteria Dahlan, ada sisi positif yang bisa kita tafakuri, yaitu bahwa orang Sunda masih memiliki rasa cinta dan kebanggaan terhadap Bahasa dan budaya Sunda, ketika basa diusik, urang sunda ngulisik.
Semoga kasus ini menjadi titik awal kebangkitan Bahasa Sunda dan Bahasa-bahasa daerah lainnya dalam rangka mempertahankan identitas bangsa. Karena saat ini menurut laporan PBB (Persatuan Bangsa-bangsa), hampir setiap hari ada bahasa daerah yang lenyap di telan bumi.
*) Penulis adalah Dosen Prodi Hubungan Internasional Fisip Unpas