JAKARTA – Selain Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Al Makin yang meminta proses hukum terhadap HF, penendang sesajen di area Gunung Semeru, Lumajang, Jatim dihentikan.
Kini ada lagi pakar hukum pidana yang setuju dan sepakat meminta kasus tersebut dihentikan. Seorang Pakar hukum pidana dari Universitas AL-Azhar Suparji Ahmad mengatakan, penghentian tersebut sesuai dengan konsep restorative justice yang menyelesaikan kasus dengan cara mediasi.
“Saya kira pernyataan tersebut patut untuk dipertimbangkan. Hal itu sesuai konsep restorative justice,” kata Suparji.
Pada kasus itu, tersangka HF dijerat dengan Pasal 156 KUHP tentang Permusuhan, Kebencian, atau Penghinaan terhadap suatu atau Beberapa Golongan Rakyat Indonesia.
Saat disinggung dengan pasal yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang juga diduga menista agama pada 2017 lalu, Suparji menegaskan hal tersebut tidak terkesan membedakan.
Akademisi Universitas Al-Azhar menegaskan perkara bersifat kasuistis tidak bisa dibandingkan atau dianalogikan perkara lain.
Kasus itu, lanjut dia, bisa diselesaikan dengan mediasi sepanjang ada permintaan maaf dari tersangka.
“Bisa mediasi (asalkan) pihak yang melaporkan atau merugikan memberi maaf. Lebih baik ada perdamaian, saling memaafkan dan memulihkan,” kata Suparji Ahmad.
Sebelumnya, Profesor Al Makin meminta proses hukum terhadap HF, penendang sesajen di areal Gunung Semeru, Lumajang, Jatim dihentikan.
“Saya menyerukan agar segera proses hukum ini sebaiknya dihentikan dan sebaiknya kita maafkan,” kata Profesor Al Makin di Kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Jumat (14/1).
Dia pun membandingkan kasus yang menjerat HF dengan banyak pelanggaran lain yang lebih berat terkait dengan kaum minoritas, tetapi tidak masuk ke ranah hukum.
“Saya sendiri punya datanya yang lengkap, pelanggaran rumah ibadah, pelanggaran kepada minoritas, pembakaran, tidak semuanya masuk ranah hukum,” ujarnya.
HF sendiri ditangkap oleh Tim Gabungan Polda Jatim dan Polda DIY pada Kamis (13/1) malam di Kabupaten Bantul. (jpnn/rit)