JAKARTA – Syarat tes RT-PCR untuk perjalanan dengan transportasi udara terus menuai penolakan. Selain rapid antigen yang dinilai lebih praktis, alasan lainnya adalah fakta bahwa penularan Covid-19 di pesawat terbukti lebih rendah daripada moda transportasi lain.
Menurut Dicky Budiman, epidemiolog dan peneliti pandemi Covid-19 dari Universitas Griffith, Australia, banyak contoh kejadian di mana tingkat persebaran Covid-19 di pesawat terbukti rendah. Laporan yang dimuat dalam The New England Journal of Medicine (NEJM), misalnya. Diceritakan bahwa pada 1 Februari 2020, sebuah operasi penerbangan dilakukan angkatan udara Jerman untuk mengevakuasi 126 warga negara Jerman dari Hubei, Tiongkok.
Dari total 126 penumpang, 10 orang diisolasi karena kontak erat dan menunjukkan gejala. Namun, hanya dua orang yang positif Covid-19 setiba di Jerman. Penelitian itu melaporkan, hanya 1,8 persen tingkat infeksi dari 114 spesimen yang diambil.
Rendahnya tingkat penularan Covid-19 di pesawat udara salah satunya dipicu sistem filtrasi udara HEPA (high efficiency particulate air) yang disuplai dalam kabin bertekanan selama penerbangan. Sistem sirkulasi udara itu dikatakan sama bagusnya dengan filter udara di rumah sakit.
Dicky menyebutkan, jika merujuk pada manajemen pengendalian pandemi berbasis risiko, moda transformasi udara paling kecil risikonya. ’’Risiko terjadinya klaster pesawat sangat kecil, bahkan paling kecil jika dibandingkan dengan moda transportasi lainnya,” katanya kepada Jawa Pos kemarin (24/10).
Dia melanjutkan, HEPA filter di pesawat setara dengan sirkulasi udara 20 kali dalam 1 jam sehingga menurunkan potensi penularan. Belum lagi adanya penerapan prokes yang ketat. ”(Risikonya, Red) rendah bahkan sebelum ada vaksin. Kalau semua prokes diterapkan, ketika pesawatnya penuh sekalipun, tidak terjadi itu klaster penularan meskipun ada penumpang yang teridentifikasi positif,” jelasnya.
Selain ke Jerman, ada beberapa penerbangan evakuasi dari Wuhan ke negara lain seperti Kanada pada awal pandemi. Penularannya juga relatif rendah. Karena itu, dia setuju syarat skrining tidak terlalu ketat. ’’Walaupun tidak dilonggarkan, sama sekali tidak. Tapi, kalau bicara PCR, ini kan satu alat konfirmasi diagnostik. Namanya konfirmasi ya sebelum itu ada screening, yakni memakai antigen,” terang Dicky.