Rina juga menyampaikan, pinjol resmi tidak memiliki akses data yang luas. Sedangkan pinjol ilegal memiliki akses data yang bebas. Misalnya, akses foto. Pinjol ilegal juga bebas menyebar data nasabahnya kepada siapa pun. Dia mengatakan, layanan keuangan berbasis digital, termasuk pinjol yang terdaftar dan diawasi OJK, saat ini berjumlah 106 unit.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan telah merumuskan alasan-alasan hukum untuk menjerat pelaku pinjol ilegal. Baik secara perdata maupun pidana. Pemerintah ingin hadir dan menyelamatkan rakyat dari tindakan pemerasan maupun pengancaman.
Secara perdata, pinjol ilegal tidak memenuhi syarat. Yakni, tidak terdaftar dalam administrasi pemerintah maupun OJK sehingga dinilai tidak sah.
Secara pidana, terdapat sejumlah alternatif undang-undang (UU) yang dapat menjerat. Misalnya, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 27, 29, dan 32. Pasal 27 menyebut setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan informasi maupun dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
“Itu terkait penyebaran foto-foto porno dan tidak pantas yang digunakan untuk mengancam dan menakut-nakuti peminjam agar malu,” terang Mahfud.
Dia meminta para korban berani melapor polisi. Nanti korban diberi perlindungan oleh Polri maupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) OJK Tongam Lumban Tobing mengatakan, secara pidana, pinjol ilegal dapat dianggap melakukan pemerasan sesuai 368 KUHP. Juga terjerat pasal 335 KUHP karena melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Serta, pelanggaran UU ITE dan perlindungan konsumen.
“Jadi ya benar tidak usah bayar karena memang tidak memenuhi syarat dan tidak sesuai landasan hukum,” tandasnya. (jawapos-red)