JAKARTA – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sejak 2020 sudah meniadakan Ujian Nasional (UN). Adapun, penggantinya adalah Asesmen Nasional (AN).
Terkait ini, pemerhati pendidikan sekaligus mantan Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Doni Koesoema menyampaikan bahwa ada hal yang berbahaya dari kebijakan tersebut. Sebab, AN tidak menampilkan standar kompetensi lulusan seperti UN.
“Mas Nadiem menghapus UN, mengajukan AN, tapi itu tidak diberikan alternatifnya untuk menilai standar kompetensi lulusan anak-anak Indonesia seperti apa,” kata dia dalam siaran YouTube Vox Populi Institute Indonesia dikutip, Selasa (21/9).
Dengan tidak adanya alat ukur berupa ujian yang objektif per mata pelajaran, dikhawatirkan anak Indonesia tidak mampu bersaing dengan negara lain. Pasalnya, tidak ada penilaian secara utuh dari anak didik tersebut.
“Anak-anak kita lulusan SMA itu gimana kualitasnya kalau tidak ada semacam ujian objektif per mata pelajaran. Ini akan membahayakan karena kita tidak punya kriteria menentukan kualitas anak-anak kita,” ujarnya.
Kata dia, UN semestinya tidak perlu dihapus dan hanya perlu perbaikan sedikit.
“Kami mendapat masukan, misal UN mendapat kritikan, lalu kemudian kita evaluasi jadi UNBK, dan hasilnya luar biasa. Jadi ketika sistemnya bagus dan hasil UN bisa dipertanggungjawabkan, yang jadi masalah sifat dan tujuan dari UN yang keliru, karena dipakai dengan berbagai macam tujuan,” jelasnya.
Pelaksanaan AN ini, kata Doni akan mengacaukan pola pikir pelajar di kelas tingkat akhir. Pelajar di tingkat akhir tidak lagi dinilai kompetensinya sebagai lulusan, namun sudah harus bersiap masuk ke jenjang berikutnya.
“Jadi misalnya yang SMA, ya pikirannya sudah UTBK, SNMPTN. Berarti kita membiarkan anak kelas 12 itu bimbel. Semua sudah untuk mempersiapkan diri ke perguruan tinggi,” tandasnya.
(Jawapos.com)