JAKARTA – Di antara banyak lomba Agustusan, ada empat yang disebut-sebut punya makna filosofis. Makan kerupuk, panjat pinang, balap karung, dan tarik tambang. Itu juga membuat empat lomba tersebut lebih populer dibandingkan jenis lomba 17-an lainnya.
Heri Priyatmoko, dosen ilmu sejarah pada Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, mengatakan bahwa kerupuk adalah makanan kaum elite pribumi pada zaman dulu. Hanya mereka yang latar belakang ekonomi atau sosialnya bagus yang bisa mengonsumsi kerupuk. Gampangnya, mereka yang boleh disejajarkan dengan orang-orang Belanda.
Pasca-era kolonial, kerupuk menjadi makanan yang mudah dijangkau rakyat.
’’Kebiasaan makan kerupuk pun kemudian merebak dalam masyarakat,’’ kata Heri kepada Jawa Pos pada Rabu (11/8).
Merakyatnya kerupuk yang bersamaan dengan berakhirnya penjajahan itu menjadi landasan untuk mengidentikkan kerupuk dengan perayaan kemerdekaan. Maka, lomba makan kerupuk menjadi kekal dalam budaya Agustusan.
Kisah di balik balap karung, menurut Sumarno, erat dengan para misionaris Eropa. Dosen ilmu sejarah pada Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengatakan bahwa balap karung lahir di sekolah-sekolah rakyat.
Tentang tarik tambang yang juga populer tiap perayaan kemerdekaan, Sumarno mengatakan bahwa tali identik dengan adu otot. Sejak zaman kerajaan hingga periode penjajahan, masyarakat sarat dengan pengalaman dan pemandangan adu otot. Hukuman dari penjajah juga sering kali melibatkan tambang.
Kini, tarik tambang adalah lomba 17-an yang menuntut kekompakan tim untuk memenangkannya. Masih tetap melibatkan otot, tapi tidak lagi mencerminkan hukuman atau siksaan.
’’Tarik tambang itu bisa jadi merupakan warisan kerajaan, tapi bisa juga warisan penjajahan. Harus dilacak lagi,’’ kata Sumarno kemarin (14/8).
(Jawapos.com)