JAKARTA – Wacana merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memasuki babak baru.
Pemerintah telah memutuskan untuk tidak mencabut UU tersebut dan memilih melakukan revisi secara terbatas yang cakupannya sangat kecil.
Revisi terbatas itu, yakni berupa penambahan beberapa aspek dalam pasal yang dianggap multitafsir, salah satunya memasukkan penjelasan pada sejumlah pasal di UU ITE.
“Ada revisi semantik atau revisi terbatas yang sangat kecil. Seperti, misalnya, apa sih penistaan itu? Apa sih fitnah itu? Apa sih? Jadi dijelaskan,” ujar Menko Polhukam Mahfud MD saat menjelaskan hasil kesimpulan Tim Kajian UU ITE di Jakarta.
Mahfud menuturkan bahwa tujuan penambahan penjelasan itu agar ketentuan yang dianggap pasal multitafsir atau pasal karet tidak disalahgunakan, sehingga seluruh pihak memahami konteks regulasi tersebut.
Keberadaan pasal karet memang menjadi salah satu faktor penyebab mencuatnya wacana revisi UU ITE. Mengutip pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, setidaknya terdapat tiga pasal multitafsir yang termuat dalam UU ITE, yaitu Pasal 27, 28, dan 29.
Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu telah mengatakan akan meminta parlemen untuk menghapus pasal-pasal karet yang ada di dalam UU ITE jika tidak dapat memberikan rasa keadilan.
“Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” ujar Presiden pada Februari lalu.
Semangat UU ITE adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar lebih bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Presiden tidak ingin implementasi UU tersebut justru menimbulkan rasa ketidakadilan. (Ant/fin)