YANGON – Polisi Myanmar kian brutal menghadang para demonstran/pengunjuk rasa anti-rezim yang menyerukan penolakan kudeta militer.
Bahkan, hingga saat ini korban kekerasan aparat semakin bertambah. Tercatat sebanyak 238 orang telah jadi korban kebrutalan aparat semenjak pecahnya kudeta militer yang terjadi di Myanmar pada 1 Februari lalu.
Imbasnya, tak sedikit masyarkat sipil di Myanmar kibarkan asa balas dendam. Dilansir dari The Irrawady, perlawananan akan aksi brutal polisi terhadap para demonstran pun bukan saja muncul dari massa yang lakukan protes.
Organisasi layanan pemakaman gratis yang berbasis komunitas di Bago juga ikut menyuarakan protes.
Mereka sepakat menolak untuk membantu pemakaman seorang kapten polisi yang tewas dalam huru-hara ketika mengamankan pengunjuk rasa anti-rezim.
“Polisi meminta beberapa layanan pemakaman untuk membantu pemakaman tetapi mereka semua menolak,” kata seorang warga Bago.
Warga lain, yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, pada akhirnya pemakaman Kapten Kyaw Naing Oo diadakan di pemakaman Sinpyukwin pada Selasa, 23 Maret 2021, siang kemarin dengan polisi memberikan keamanan.
Mereka menggunakan jalan pintas Bago, bukan Jalan Pagoda Shwethalyaung, yang biasanya digunakan untuk pemakaman.
“Mereka tidak menggunakan jalan biasa menuju pemakaman, menunjukkan bahwa mereka mencurigai publik. Ada masalah antara mereka dan masyarakat yang tidak bisa dilihat,” kata warga.
Pria berusia 37 tahun itu tewas sementara sejumlah besar petugas membubarkan paksa pengunjuk rasa mahasiswa di bangsal Ponnasu pada 14 Maret.
Menurut polisi Bago, Kapten Kyaw Naing Oo bertugas di kantor Kapolda dan meninggal akibat luka masuk. Rincian lebih lanjut tidak diketahui.
Sejak kudeta 1 Februari, tujuh orang, termasuk seorang wanita, tewas dalam tindakan keras oleh pasukan keamanan di Bago. (The Irrawady)