Candu Gawai, Salah Siapa?

Menanggapi hal tersebut, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat (Jabar) mencatat sepanjang 2020 pasien berobat ke Klinik Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja total ada 104 pasien, yang mengalami masalah kejiwaan terdampak kecanduan game.

Ia menyampaikan, pada Januari – Februari ditemukan 14 kasus, sedangkan yang murni terdiagnosa kecanduan game pada 2020 sebanyak 8 orang. Sedangkan sepanjang 2021 ini sudah ditemukan 5 kasus anak dan remaja kecanduan gawai.

Direktur RSJ Jabar, Elly Marliyani mengatakan, kebijakan pembatasan sosial akibat Covid-19 tidak dipungkiri menyebabkan banyak anak dan remaja kecanduan gawai.

Bahkan kata dia, anak yang telah kecanduan gawai dapat dilihat dari perubahan sikap dan perilakunya. Umumnya, perubahan mood/emosi termasuk iritabilitas, kemarahan dan kebosanan, gangguan pola tidur dan kualitas tidur yang buruk, depresi dan cemas serta risiko bunuh diri.

“Gejala lain terlihat pada masalah kondisi fisik, buruknya kondisi kesehatan secara umum, gizi buruk, kehilangan teman di dunia nyata, konflik orang tua, serta rusaknya produktivitas belajar,” kata Elly.

Menurut Elly, dalam merawat pasien kecanduan gawai timnya memberikan terapi berupa konseling dan psikoterapi baik kepada anak dan orang tua. “Pada kasus-kasus yang berat atau sudah ada gejala gangguan jiwa, bisa juga diberikan obat,” katanya.

Untuk mencegah kecanduan gawai, kata Elly, orang tua dapat membatasi pemakaian maksimal dua jam untuk anak. Kemudian, bisa mendorong anak menggunakan internet untuk hal positif dan produktif. Memotivasi anak berkegiatan fisik di luar rumah, membatasi akses internet di rumah, serta menjauhkan gawai saat di tempat tidur.

“Orang tua juga bisa menggunakan teknologi dalam memantau penggunaan gawai atau internet, misalnya dengan parental lock dan lainnya” pungkasnya. (win)

Tinggalkan Balasan