JAKARTA – Pegiat media sosial, Denny Siregar menilai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang legalitas investasi minuman keras (Miras) di beberapa Provinsi, mengikuti budaya provinsi tersebut.
Seperti diketahui, Perpres legalitas investasi Miras itu, hanya diberlakukan di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua.
Denny Siregar menyebut, ke-4 Provinsi tersebut menjadikan miras sebagai budaya semenjak dulu. Sehingga wajar jika Jokowi membuka keran investasi miras di sana untuk pendapatan daerah.
“Daerah yang boleh investasi miras cuma Bali, NTT, Papua dan Sulut doang. Di sana miras itu budaya, daripada dilarang-larang sekalian jadikan pendapatan,” kata penulis buku ‘Tuhan dalam Secangkir Kopi’ ini, melalui akun twitternya, Senin (1/3).
Dia mengatakan, Perpres tersebut tidak perlu diributkan, kecuali Perpres tersebut berlaku di Aceh.
“Kalo misalnya Aceh ma Sumbar juga dibolehkan meski disana gada budaya minum miras, bolehlah ente caci maki,” katanya.
Menanggapi itu, DPW PKB Papua tak sepakat dengan pernyataan Denny Siregar tersebut. Melalui akun twiter @PKB_Papua mengatakan bahwa cuitan Denny Siregar tersebut telah menyinggung masyarakat Papua.
“Sebagai Orang Papua kami cukup tersinggung kalau miras dibilang budaya kami. @Dennysiregar7, ini tidak kapok2 ka bikin blunder terus..? Siapa yang pelihara sih?,” cuitan @PKB_Papua.
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang legalitas investasi minuman keras (Miras) di beberapa Provinsi itu, memang tengah ramai dikritisi sejumlah kalangan.
Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per tanggal 2 Februari 2021.
Dalam lampiran III Perpres 10/2021, pemerintah mengatur ada empat klasifikasi miras yang masuk dalam daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu.
Pertama, industri minuman keras mengandung alkohol. Kedua, minuman keras mengandung alkohol berbahan anggur.
Adapun keduanya mempunya persyaratan yakni untuk penanaman modal baru hanya dapat dilakukan di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan lokal.