SKB Tiga Menteri Dianggap Bisa Bikin Siswi Berperilaku Semaunya, Benarkah?

JAKARTA – Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel angkat bicara terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang dibuat Mendagri Tito Karnavian, Mendikbud Nadiem Makarim, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut. SKB Nomor 02/KB/2O2l, Nomor 025-199 TAHUN 2021 dan Nomor 219 TAHUN 2021 tersebut mengatur tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Sekolah Negeri di Indonesia.

“Terkait SKB tiga menteri, tampaknya ada beberapa persoalan,” ucap Reza Indragiri kepada JPNN.com, Sabtu (6/2).

Salah satu poin yang disorot oleh konsultan di Lentera Anak Foundation ini dalam SKB 3 menteri itu adalah kalimat “Memberikan kebebasan….” sebagai tercantum dalam diktum kedua. Diktum kedua itu berbunyi; “Pemerintah daerah dan sekolah memberikan kebebasan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu”.

Reza kemudian menyinggung soal Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menggunakan kata ‘kemerdekaan’, bukan ‘kewajiban’. Diksi tersebut memberikan ruang kepada siapa pun untuk memeluk agama apa pun. Namun, katanya, secara semena-mena, kata ‘kemerdekaan’ bisa ditafsirkan sebagai jaminan bahwa anak atau peserta didik juga bisa berperilaku sekehendak mereka sendiri.

“Termasuk, anak atau peserta didik, berkat kata ‘kemerdekaan’, seakan bisa mengabaikan kewajiban mereka untuk berbusana tidak sesuai dengan ketentuan agama mereka. Spesifik, siswi muslimah merdeka untuk berjilbab maupun tak berjilbab,” tegas pria asal Rengat, Indragiri Hulu, Riau.

Guna menutup celah bagi interpretasi menyimpang itu, kata Reza, perlu dilakukan perumusan ulang atas pasal 29 ayat 2 UUD. Alternatif lain, kata ‘kemerdekaan’ perlu diberikan penjelasan tentang seberapa jauh kemerdekaan itu diterapkan dan tidak diterapkan pada subjek anak-anak.

Pakar yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi UGM ini kemudian membahas frasa ‘memberikan kebebasan kepada peserta didik’ yang tercantum dalam SKB 3 menteri tersebut. “Meski terkesan indah, namun frasa tersebut bertentangan dengan dinamika psikologis anak itu sendiri. Anak diasumsikan sebagai individu yang belum cukup cakap (kompeten) untuk membuat keputusannya sendiri,” tutur Reza.

Lebih jauh, peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne, Australia ini mengatakan, UU Perlindungan Anak memang menjamin bahwa anak berhak mengeluarkan pendapatnya. Namun, katanya, pada saat yang sama tidak ada pasal dalam UU tersebut yang mewajibkan diamininya atau dipenuhinya pendapat anak tersebut.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan