JAKARTA – Penyebutan orang asing sebagai “bule” telah mengakar di Indonesia. Mereka yang berciri fisik jasmaniah berkulit putih, berhidung mancung, dan berambut pirang maupun putih lekat diidentifikasi sebagai bule.
Uniknya, sapaan ini justru menuai prokontra dari mereka yang tergolong ras kaukasoid. Ada yang merasa terganggu dengan panggilan bule, serta ada yang tak berkeberatan ketika dipanggil bule. Saking nyamannya, sampai-sampai ada anggapan istilah tersebut sebagai sebuah keunikan yang hanya didapat kala berkunjung ke Indonesia.
Kata bule sendiri merupakan ragam cakapan dari kata lain yang sesungguhnya juga ada di KBBI: bulai. Tercatat, asal-usul kata bule ini sendiri merujuk pada keadaan kekurangan pigmen, mengakibatkan seseorang ‘berwarna’ putih pada seluruh tubuh dan rambutnya.
Jauh sebelum kata bule populer, orang Indonesia umumnya mengeneralisir penyebutan orang asing sebagai kompeni ataupun londo. Kata ‘kompeni’ sendiri berasal dari kesalahan orang Indonesia dalam melafalkan nama kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Oleh karenanya, yang paling banyak diingat hanya baris terakhir, yakni ‘compagnie’, yang lama-kelamaan lidah Nusantara mulai menyerap kata tersebut menjadi ‘kompeni’. Londo pun begitu, asal kulit putih mereka disebut londo.
Untuk itu, dapat dipastikan kata bule tak eksis sepanjang masa penjajahan Belanda, mengingat banyak di antara kaum bumiputra banyak memanggil orang asing atau Eropa dengan sebutan Tuan. Panggilan itu, sebagaimana kolonialis-kolonialis Belanda umumnya meminta panggilan demikian.
Menariknya, seorang Peneliti bernama Benedict Anderson, dalam biografi singkatnya berjudul Hidup di Luar Tempurung (2016), mengungkap sebutan tuan untuk mereka yang berkulit putih agak tidak nyaman di telinga. Atas dasar itu, dirinya kemudian mengganti istilah tuan dengan suatu kata yang agak nyaman didengar, yakni ‘bule’.
“Gara-gara ini, saya pun jadi punya kontribusi kecil (tapi awet) dalam bahasa Indonesia. Melihat warna kulit saya yang tidak putih, tetapi merah muda kelabu, saya merasa warna ini mendekati warna kulit hewan albino (kerbau, sapi, gajah, dll) yang oleh orang indonesia diistilahkan “bulai” atau “bule”. Jadi, saya beritahu kawan-kawan muda saya harus disebut bule, jangan putih.”