Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah tidak menyatakan bahwa Provinsi mempunyai wewenang dalam hal kebardarudaraan.
Tampaknya kebandarudaraan memang tidak menjadi masalah pelik untuk semua provinsi maupun kabupaten/kota. Ada masalah serius dengan Jabar karena Jabar memiliki aset yang sangat besar di sektor ini.
Bagaimana dengan aset yg ada, pembebasan lahan sudah 1.040 hektare dari rencana 1.800 hektare? Bagaimana kelanjutan aerocity Kertajati?
Apa karena tanpa utang, Kertajati ditendang, sedangkan Patimban dibiayai utang?
Jangan tanyakan soal peluang atau keuntungan yang bisa diperoleh dari BIJB Kertajati. Jumlah penumpang yang akan menggunakan bandara tersebut pasti sangatlah banyak.
Betapa tidak, jumlah penduduk jabar hampir 20 persen dari total penduduk nasional. Jadi, setiap tahun minimal ada tiga sampai empat kelompok penumpang potensial. Jumlahnya juga tidak sedikit.
Ada jamaah haji yang rutin berangkat karema mayoritas penduduk Jabar adalah muslim. Ada pula yang tidak kalah jumlahnya, yaitu jamaah umroh.
Selain itu ada juga potensi dari pekerja migran Indonesia asal Jabar. Bahkan, kalau semua sepakat dan memegang komitmen, perjalanan dinas semua ASN, pejabat, dan pengusaha.
Bagaimana dengan Nusawiru? Bandara perintis di Kabupaten Pangandaran tersebut juga menarik. Bandara Nusawiru disetting untuk mengembangkan wilayah selatan bagian timur Jawa Barat.
Andai nasibnya akan di-kertajati-kan, apakah tidak mubazir pula anggaran dati APBD Jabar yang digelontorkan untuk pengembangannya? Lalu, apakah semua aset-aset Pemprov Jabar harus dihibahkan seutuhnya kepada Pemerintah Pusat?
Memang poin utamanya bukan pada aset. Apakah setelah dikelola oleh Pusat, grand design pengembangan kedua bandara itu akan terus dilanjutkan? Jabar semestinya mendapat komitmen tersebut.
Bagaimana sesungguhnya kebijakan kebandarudaran kita? Mari kita tunggu bersama perkembangannya.