RAJAMANDALA – De Grote Posweg atau Jalan Raya Pos merupakan jalur yang membentang dari Anyer (Banten) hingga Panarukan (Jawa Timur). Jalur ini memiliki panjang kurang lebih 1000 kilometer.
Jalan sepanjang itu hanya dibangun dalam waktu satu tahun (1807 – 1808), di bawah kekuasaan tangan besi Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Tetesan keringat, darah, dan nyawa ribuan pekerja paksa yang merupakan pribumi jadi buktinya.
Saking kejam prosesnya, Sastrawan Pramoedya Ananto Toer menyebut pembuatan Jalan Raya Pos ibarat genosida atau pembunuhan massal karena menelan ribuan korban jiwa.
Saat itu, Hindia Belanda memang membutuhkan jalur untuk mempercepat mobilisasi pasukan menghadapi gempuran militer armada laut Inggris, karena pertahanan kolonial lemah di garis pantai selatan.
“Daendels ingin memperkuat pertahanan hingga ke pedalaman, dia ingin pasukan yang bergerak cepat. Untuk menunjang itu harus ada jalan,” ujar pegiat sejarah Jawa Barat, Machmud Mubarok, saat dihubungi, Selasa (8/12).
Peperangan telah usai, Indonesia meraih kemerdekaan pada 1945. Kini jalan yang melewati 5 provinsi dan 39 kabupaten/kota ini menjadi dilalui jutaan pengendara setiap harinya.
Wilayah yang dilewati Jalan Raya Pos biasanya menjadi pusat aktivitas warga, seperti kawasan Asia Afrika di Kota Bandung yang menjelma menjadi kawasan bisnis yang bergengsi.
Namun, Jalan Raya Pos yang berada di Rajamandala – Haurwangi perlahan terlupakan. ‘Sepenggal warisan Daendels’ itu mulai jarang dilewati pascadibangunnya Jembatan Tol Rajamandala pada 1979 silam.
Dulu, jalan penghubung utama dari Bandung menuju Cianjur hanya melewati Haurwangi. Jalannya berkelok, naik-turun dan diapit oleh tebing dan pesawahan di sisi kiri dan kananya.
Daendels membuat jembatan untuk menyebrang Sungai Citarum yang airnya berwarna kehijauan di musim kemarau di sini. Jembatan itu kini telah dirobohkan.
Sebagai gantinya, pengelola PLTA Cirata membangun jembatan yang lebih mudah dilewati pada 1986. Kendati begitu, traveler masih bisa melihat sisa reruntuhan yang dibangun Daendels.
“Kalau dulu di sini tuh ramai, hampir tiap tikungan ada yang jualan. Banyak warung-warung warga juga,” ucap Jajang (60), warga sekitar.
Hanya ada warga sekitar yang lalu lalang di penggalan Jalan Raya Pos yang terlupakan ini. “Paling yang sengaja datang ke sini saja, karena memang lebih jauh jaraknya dan belum tentu mereka tahu nilai sejarahnya,” katanya.