BANDUNG – Tata kelola Aset milik Pemprov Jabar masih memiliki permasalahan yang harus diselesaikan jika tidak ingin jadi temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Kepala Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Pengamanan dan Pemanfaatan Aset pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Jawa Barat Acep Bambang Sudrajat membenarkan atas adanya pemerikasaan yang dilakukan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
Diketahui, Berdasarkan laporan keuangan Pemdaprov Jabar BPK memberikan catatan rekomendasi terhadap pengelolaan aset tentang kerjasama sewa menyewa. Aset yang dimilikiPemdaprov Jabar berupa tanah dan bangunan itu banyak yang belum sesuai ketentuan oleh BPKAD. Khususnya kerjasama dengan pihak ketiga.
Menurut Acep, aset Pemdaprov Jabar yang menjadi sorotan BPK adalah gedung-gedung milik prmprov di jalan Braga yang merupakan aset Hak Pengelolaan No 3 Pemprov Jabar pada 1988.
“Jadi aset yang di Braga dekat Bank Sarinah ialah aset pemprov jabar yang awalnya itu aset kosong dengan sertifikat pengelolaan no 3 tahun 1988 tadi,” jelasnya.
Akan tetapi, pada kenyataannya dikerjasamakan dengan pihak ketiga dengan jangka waktu 20 tahun. Artinya dengan perjanjian bangun guna sewa tersebut setelah 20 tahun diserahkan oleh Pengembang.
“Jadi intinya pemprov mendapat keuntungan dari bangunan tersebut. Dan pihak ketiga mendapatan keuntungan dalam mengelola bangunan selama 20 tahun,” imbuhnya.
Akan tetapi, di pertengahan kerjasama, pihak ketiga mengakuisecara sepihak berdasarkan Hak Guna Bangunan (HGB) induknya. Serta rukonya pun dijual. Akan tetapi, kata dia, HGB nya diatas HPL. Sehingga berbeda dengan HGB murni, yang bisa di perpanjang jadi hak milik.
“Jadi karena ini tetap HPLnya milik pemprov jabar sampai kapanpun. Setelah berakhir jangka waktu, timbulan gugatan ke pengadilan. Gugatan ini bukan masalah kepemilikan, karana kepemilkan atas aset pemprov sudah clear,” ungkapnya.
“Kita punya sertifikatnya, semua mengetahui bawah ini sertigkatnya HPL milik pemprov jabar dengan pihak ketiga itu,” tambahnya.
Iapun mengaku, Ada gugatan dari beberapa penghuni waktu itu kepengadilan untuk memperpanjang naskah HGB tersebut. Sebagai halnya yang diatur PP tahun 96.
Namun, karna asal haknya adalah perjanjian, sehingga tidak bisa diperlakukan sebagaimana HGB murni. Karena alas hak murni ini berakhir pada saat kerjasama maka berakhir pula HGB tersebut.