Boseke Minahaizi

Setelah kakeknya meninggal tugas itu menjadi tanggung jawab pamannya. Tapi sang paman juga tidak tahu arti dalam mantra itu. Tapi setiap kali melagukannya selalu saja nadanya sendu. Sedih. Seperti meratap.

Boseke sendiri lantas kawin dengan orang Manado keturunan Tionghoa. Yang masih punya nama dan marga Tionghoa. Dari istrinya itu Boseke akhirnya bisa bahasa Mandarin.

Pengusaha biasanya selalu ingin tahu. Demikian juga Boseke. Ia ingin tahu mengapa orang Manado berkulit kuning dan bermata sipit. Memang sudah ada bisik-bisik bahwa orang Minahasa itu keturunan Tionghoa. Tapi dari buku asal usul Minahasa tidak pernah menguraikan secara jelas bagaimana hubungannya.

Bahkan selama ini dikembangkan legenda bahwa orang Minahasa itu berasal dari keturunan seorang ibu yang kawin dengan anaknya sendiri – -hanya mereka berdua  yang tertambat di Minahasa.

Maka dengan dana sendiri Boseke melakukan penelusuran sampai ke Tiongkok. Khususnya ke Sichuan, salah satu pusat pemerintahan kekaisaran Han. Boseke juga ke Korea, Jepang dan Taiwan.

Saat di Sichuan itu Boseke menemukan mantra yang dulu dialunkan kakeknya. Yang bunyi dan nadanya sangat mirip.

Ternyata itu adalah nyanyian sedih yang diratapkan bangsa Han setelah kekaisaran itu runtuh. Mereka menginginkan kejayaan kembali bangsa Han.

Itulah semacam doa yang terus diratapkan siapa pun yang menginginkan kejayaan kembali bangsa Han. Di mana pun mereka berada. Termasuk oleh mereka yang sudah menyebar ke mana-mana – -akibat perang yang tidak habis-habisnya pasca kejayaan kekaisaran Han.

Kekaisaran Han adalah yang paling lama berkuasa di Tiongkok. Yakni selama 400 tahun. Sejak 250 tahun sebelum Masehi sampai 150 tahun setelah Masehi.

Buku ini juga menceritakan perang-perang antar negara Shu (Sichuan dan sekitarnya), Wi (di utara sungai Huang He) dan Wu (Wuhan dan sekitarnya sampai Guangdong dan Shanghai).

Pusat pemerintahan Han sendiri pindah-pindah. Awalnya di Chang An (sekarang: Xi’an), Laoyang (kota Laoyang sekarang masuk provinsi Henan) dan Chengdu (sekarang masih bernama Chengdu, ibukota provinsi Sichuan).

Nama Minahasa pun ternyata terkait dengan sejarah  banyaknya pengungsian akibat perang ratusan tahun berikutnya. Terutama pengungsian terhadap wanita dan anak-anak. Mereka dinaikkan kapal agar bisa menghilir di sungai Changjiang (Yang Tze Kiang) yang sangat besar itu. Mereka pun menghilang ke timur – -termasuk lepas ke muara sungai menuju lautan bebas.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan