Sampai Bawen saya berhenti berterima kasih kepada Presiden Jokowi. Saya ganti berterima kasih kepada Presiden SBY. Jalur Bawen-Semarang ini dibangun di zaman Presiden SBY.
Di kawasan pegunungan Ungaran ini terlihat banyak jalur khusus untuk mobil yang rem-nya blong. Teman semobil saya rupanya belum pernah tahu kegunaan lajur itu. Kok ada jalan exit tapi dibuat menanjak, lalu buntu.
Maka saya harus menjelaskan padanya: kalau di jalan yang menurun tadi ada mobil yang rem-nya blong sopir bisa memasukkan mobil ke lajur itu. Tanjakan di lajur itu akan membuat laju mobil (khususnya truk bermuatan berat) melambat. Lalu berhenti karena membentur ujung lajur darurat itu.
Baca Juga:Jembatan Penghubung Dua Kecamatan di Sukabumi Ambrukbank bjb Optimalkan Dana PEN untuk Dongkrak Sektor Riil
Di kawasan ini juga banyak jembatan panjang yang pilarnya harus sangat tinggi. Saya pernah turun sampai ke sungai itu saat jalan tol ini lagi dibangun oleh BUMN. Beberapa kali mobil saya tertancap di lumpur proyek. Yakni saat saya meninjau pekerjaan mereka.
Sampai di Semarang saya ganti mengucapkan terima kasih –kepada siapa ya? Kok saya lupa. Mungkin kepada Pak Harto. Atau Pak Habibie. Atau Gus Dur. Atau Bu Megawati. Yang jelas sebelum zaman Presiden SBY.
Inilah sektor yang amat padat. Hanya terdiri dari dua lajur. Jalannya naik dan naik. Banyak truk yang termehek-mehek di situ. Macet. Mungkin menunggu presiden setelah Pak Jokowi untuk mengatasinya.
Di sektor Semarang-Pekalongan saya kembali berterima kasih kepada Presiden Jokowi.
Di sektor ini saya bisa melihat ke kanan jalan. Ada pembangkit listrik raksasa sebelum masuk kota Batang. Di utara jalan.
Itulah PLTU pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi super-super-critical. Bikinan Jepang. Itu, juga PLTU pertama yang ukurannya terbesar di Indonesia. Satu unitnya menghasilkan listrik 1.000 MW.
Ada dua unit di situ. Berarti satu lokasi ini saja menghasilkan listrik 2.000 MW.
Itulah PLTU milik Boy Thohir –kakak Erick Thohir. Itulah pula proyek PPP (Public private partnership) pertama di Indonesia. Biayanya sekitar Rp 40 triliun. Izin PLN-nya ditandatangani oleh orang yang sekarang sudah bukan sesuatu lagi.
