BANDUNG – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan pemerintah pusat telah menggelontorkan dana mencapai Rp 90,45 miliar untuk influencer sejak 2014. Data ini diambil ICW dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Menanggapi masalah ini, Wakil Ketua FPKS DPR RI Netty Prasetiyani Aher mempertanyakan apakah anggaran sebesar itu signifikan dalam membangun komunikasi efektif antara pemerintah dan rakyat.
“Apa tidak mubazir?” tanya Netty usai Workshop Optimalisasi Peran Kontributif Kader Perempuan PKS di Islamic Center Indramayu, Sabtu, (22/08)
Dia menilai, dana sebesar itu lebih baik disalurkan untuk program yang berdampak langsung ke masyarakat. Apalagi saat ini banyak masyarakat yang terdampak Covid-19.
Oleh karena itu, kata Netty, pemerintah perlu menjelaskan tujuan penggunaan influencer dalam proses komunikasi publik. Sebab, dikhawatirkan tujuannya malah mempengaruhi opini publik dengan cara instan dan masif agar setuju atau membenarkan kebijakan pemerintah.
Jika benar demikian, menurut Netty, kondisi ini membuat komunikasi di ruang publik menjadi tidak sehat karena mengacaukan proses penyerapan informasi secara natural.
“Masyarakat jadi bias karena informasi yang diberikan influencer cenderung tendensius, subjektif dan berpihak pada pemerintah,’’ujar istri mantan Gubernur Jabar itu.
Selain itu, lanjut dia, masyarakat tidak bisa jernih berpikir dan memilah mana program yang memang bagus dan bermanfaat serta mana program yang buruk dan tidak tepat sasaran.
’’Masyarakat akan kehilangan daya kritisnya karena dihujani opini influencer,” katanya.
Netty meminta pemerintah untuk membuat kebijakan dan program pembangunan yang benar-benar menjadi solusi atas persoalan rakyat.
“Jika kebijakan dan programnya sudah bagus, saya pikir, pemerintah harus percaya diri bahwa rakyat akan mendukung meski tidak ada dukungan subjektif dari para influencer yang dibayar profesional,” tandasnya. (yan)