SUKABUMI – Jumlah kasus kekerasan terhadap anak cukup banyak terjadi di Indonesia. Sepanjang pandemi covid-19 saja, jumlah kejadiannya mencapai 3.700 kasus. Beberapa kasus di antaranya terjadi di Sukabumi.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengungkapakan data ribuan kasus tersebut merupakan akumulasi dari berbagai daerah di seluruh Indonesia yang dihimpun Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak selama periode Maret-Juni 2020.
“Berdasarkan data yang saya kutip dari Kementerian Negara PP dan PA, terdapat 3.700 korban kekerasan anak,” kata Arist dihubungi melalui telepon seluler, kemarin (9/8).
Pada periode yang sama, lanjut Arist, Komnas Perlindungan Anak juga menangani sedikitnya 809 kasus kekerasan seksual anak. Namun yang lebih mengejutkan, lebih dari setengahnya terjadi di Kota dan Kabupaten Sukabumi.
“Dari urutan (kekerasan seksual terhadap anak) yang sedang viral itu, justru lebih dari 52 persennya terjadi di kota dan Kabupaten Sukabumi,” ujarnya.
Belum diketahui penyebab menyeruaknya kasus kekerasan terhadap anak itu. Tapi Arist mencurigai hal itu berhubungan dengan kasus serupa yang pernah terjadi di Sukabumi yakni kasus Emon.
“Mungkin terlibat dengan kasus Emon pada tahun 2015 lalu. Tapi ini masih pendataan. Kan biasanya korban (dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak) akan melakukan hal yang sama,” ucapnya.
Terjadinya sejumlah kasus kejahatan seksual, kata Arist, akibat pola asuh anak yang salah dalam ketahanan keluarga. Selain itu, kepedulian keluarga dan lingkungan sekitar terhadap korban pun dinilai masih kurang. “Sehingga, pemahaman dalam menerapkan pola asuh anak yang harus segera dibenarkan,” jelasnya.
Potensi korban menjadi pelaku di kemudian hari akan sangat besar terjadi apabila mereka tidak dilakukan terapi. Sebab, sebagian besar para pelaku kekerasan seksual dulunya merupakan korban. “Kalau tidak diterapi, kemungkinan korban jadi pelaku sangat besar,” katanya.
Kekerasan seksual terhadap anak bukan terjadi karena adanya faktor kekurangan ekonomi. Faktor kemiskinan hanya memperkuat perilaku para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. “Bukan karena faktor ekonomi adanya kekerasan terhadap anak, itu hanya pendukung saja,” pungkasnya.(job1)