Bully Motivasi

Akhirnya Christi berucap. Lirih. Hampir tidak terdengar. Terutama di telinga orang yang hampir 70 tahun seperti saya. Jawaban Christy akhirnya jelas diucapkan. Justru saya yang kini merasa kurang jelas: benarkah jenis kata-kata seperti itu saja sudah bisa merusak jiwa seorang remaja?

“Apakah Anda tidak pernah dimarahi orang tua?” tanya saya.

“Pernah dong. Kan biasa anak dimarahi orang tua,” jawabnyi.

“Anda merasa sangat dimanjakan orang tua?“.

“Tidak.”

“Tapi kenapa Anda begitu sensitif?” tanya saya lagi.

“Karena, itu diucapkan oleh orang yang saya jadikan panutan,” jawabnya.

Ups… Ternyata berat menjadi panutan itu. Kata dan kalimat yang diucapkan harus benar-benar terkontrol. Berat menjadi guru itu. Lebih berat lagi menjadi bos-nya para guru.

“Apa yang kemudian membuat Anda bisa bangkit dari bully itu?” tanya saya lagi.

“Waktu saya menangis malam itu. Saya ingat sesuatu. Yakni esok paginya saya harus ujian internasional piano,” jawab Christy.

Dia tidak ingin gagal di ujian piano itu. Level ujian itu sudah fondasi 6. Setelah ingat ujian piano itu Christy ingat pula cerita film. Tentang perenang yang di-bully. Yang dikata-katai tidak mungkin bisa juara. Kata-kata pem-bully itu justru ditulis. Lalu ditempel di dinding kamarnya. Bully itu dijadikan motivasi. Sewaktu terjun ke kolam renang ia ingat kata-kata di dinding itu.

Perenang itu juara.

Christy tidak sampai menuliskan kata-kata bully dan menempelkannya di dinding kamarnyi. Yang dia tempel adalah tulisan tentang  tekadnyi untuk mendapat nilai sempurna di IB.

Maka ketika akhirnya Christy mendapat nilai 44, dia ingat bully itu. Dia pun melakukan penyanggahan yang berhasil itu.

Semua itu berawal ketika Christy menyampaikan tekadnyi untuk menjadi yang pertama di sekolah itu: meraih nilai sempurna IB. Respons sang panutan jauh dari yang dia harapkan. Sang panutan justru mengatakan jangan terlalu bermimpi muluk-muluk. Christy juga diminta untuk siap mental kalau tidak berhasil.

“Kata-kata seperti itu sudah membuat Anda terpukul? Begitu sensitifkah Anda ini?” komentar saya.

Sebelum dia menjawab saya menyesal berkomentar seperti itu. Takut tiba-tiba Christy meraungkan tangisnyi. Ternyata tidak. Christy sudah move on agak jauh. “Kata-katanya mungkin biasa. Tapi tone dan mimiknya yang membuat saya terpukul,” katanyi.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan