BANDUNG – Sampai saat ini masih banyak rumah sakit di Jawa Barat (Jabar) yang ‘bandel’ terhadap penentuan tarif rapid test. Sebab, tarif yang ditawarkan kepada masyarakat masih di atas ketentuan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Padahal, sebelumnya Kemenkes telah menerbitkan surat edaran (SE) yang menetapkan tarif rapid test tak boleh lebih dari Rp 150 ribu.
Berdasarkan penelusuran, harga diperoleh dengan mengontak layanan informasi dan memantau laman website fasilitas pelayanan rumah sakit tersebut pada Selasa (14/7).
[ihc-hide-content ihc_mb_type=”show” ihc_mb_who=”3,4,5″ ihc_mb_template=”1″ ]
Tercatat, mulai dari rumah sakit terbesar di Jabar, seperti RS Hasan Sadikin Bandung yang menjadi rujukan utama, masih menerapkan Rp 445 ribu untuk pemeriksaan rapid test, berikut surat keterangan reaktif atau non-reaktif tes.
Begitu pun dengan RS Immanuel Bandung yang memasang tarif Rp 380 ribu, dengan fasilitas tambahan surat keterangan dari dokter. Tak jauh berbeda, RS Santo Borromeus pun menerapkan tarif Rp 353 ribu, sementara untuk PCR swab tes dimulai dari harga Rp 1.780.000.
Rumah sakit rujukan swasta lainnya, RS Advent juga memasang tarif Rp 300 ribu. Pemeriksaan dilakukan secara drive thru. Kendati begitu, sejumlah rumah sakit seperti Santo Yusuf dan Hermina Arcamanik memasang tarif Rp 150 ribu atau sesuai ketentuan.
Kepala Dinas Kesehatan Jabar, Berli Hamdani berdalih, jika harga yang masih bervariasi ini lantaran ada biaya lain yang mungkin dibebankan kepada orang yang akan diperiksa.
“Kalau menghitung rapid test-nya saja, mungkin bisa masuk Rp 150 ribu, tapi itu tidak dihitung dengan APD, APD-nya saja sudah mencapai Rp 100 ribuan dan lain-lain,” ujar Berli di Gedung Sate, Selasa (14/7).
Berli menjelaskan, kemungkinan dana rumah sakit pemerintah berbeda dengan dana rumah sakit swasta. “Swasta punya sumber pendaan lain, rumah sakit yang keagamaan itu juga dia punya dana anggaran, mereka sosialnya tetap didorong,” tutur Berli.
Selain itu, ada enam merk rapid test yang direkomendasikan untuk digunakan di Jabar. Kemungkinan alat rapid test yang dipakai dari merk yang berbeda-beda. “Tapi di pasaran itu kan ada 10 merk, hasilnya juga bisa beda, karena sensivitasnya juga berbeda-beda,” kata Berli.