“ICW berharap agar MA dapat mengadili sendiri dan membatalkan putusan pada tingkat sebelumnya,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (29/4).
Putusan terhadap kasus korupsi yang menjerat Romahurmuzy ini menjadi sorotan masyarakat. Sebab, putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi dinilai mencoreng rasa keadilan masyarakat.
ICW bahkan sempat mencatat putusan Rommy yang notabene mantan Ketua Umum Parpol justru lebih rendah dibandingkan putusan seorang Kepala Desa di Kabupaten Bekasi serta paling rendah di antara Ketua Umum Parpol yang pernah dijerat oleh KPK.
Jika putusannya masih sama seperti tingkat banding, maka sudah selayaknya publik mempertanyakan keberpihakan lembaga peradilan pada sektor pemberantasan korupsi.
“Penting untuk diingatkan kembali bahwa Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan praktik korupsi yang benar-benar telah mengusik keadilan masyarakat maka sudah selayaknya putusan hakim dapat memberikan efek jera yang maksimal,” beber Kurnia.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengabulkan permohonan banding mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Rommy terkait kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemag). Rommy oleh PT DKI dijatuhkan hukuman satu tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muchammad Romahurmuziy oleh karena itu dengan pidana penjara selama satu tahun dan denda Rp 100 juta dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda tersebut diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan,” demikian bunyi amar putusan PT DKI Jakarta, sebagaimana dikutip pada Kamis (23/4).
Alhasil, hukuman Rommy berkurang dari putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang menjatuhkan hukuman dua tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan. (jpc/drx)