Sebenarnya –seperti kata gubernur New York– penderita baru itu lebih banyak lagi, tapi tidak terdeteksi.
Penyebabnya jelas: kemampuan deteksi di Amerika yang rendah. Sampai Kamis kemarin penduduk yang sudah dites, secara total, baru 5.000 orang.
Padahal, di Korea Selatan, tiap harinya saja mampu mengetes 12.000 orang. Sampai Kamis kemarin jumlah orang yang sudah dites di Korsel mencapai 230.000 orang. Bandingkan dengan 5.000 orang di negara sebesar AS.
Kemampuan sebanyak mungkin melakukan tes adalah kunci kebenaran data penderita COVID-19.
Kebenaran data itulah kunci keberhasilan pengendalian wabah di Korea Selatan. Yang tanpa lockdown pun bisa mengendalikan Covid-19.
Tentu itu terkait dengan tersedia tidaknya alat tes yang cukup. Juga terkait dengan biaya tes.
Di Korsel dan Tiongkok, tes virus COVID-19 diadakan dengan gratis. Itu pula yang akan dilakukan di Amerika, akhirnya.
Kemampuan tes yang tinggi di Korsel itu berkat jasa pengusaha bioteknologi molekular di sana.
Pengusaha itu begitu sensitif. Tanggal 16 Januari 2020 –ketika COVID-19 belum masuk Korea– pengusaha itu sudah memutuskan memproduksi peralatan tes untuk virus dari Wuhan itu.
Tanggal 5 Februari peralatan tes pertama sudah mulai diproduksi. Hanya perlu waktu 20 hari untuk mendesain, mengadakan bahan, dan menyiapkan alat produksi.
Kini perusahaan itu berproduksi 24 jam sehari. Pesanan datang dari seluruh dunia. Kuwalahan.
Yang juga cepat adalah prosedur perizinannya. Khususnya agar alat itu lolos –dianggap aman dan benar. ”Biasanya izin seperti ini baru selesai setelah 1,5 tahun,” ujar Chun Jong-yoon, CEO Seegene, perusahaan bioteknologi mulekular itu.
”Kali ini izin keluar dalam waktu 1 minggu,” ujarnya.
Tanpa Omnibus Law. (dahlan iskan)