BANDUNG – Banjir yang kerap terjadi di Bandung Raya menjadi sorotan para akademisi. Mereka menilai selama ini pemerintah dalam menentukan konsep selalu berubah-ubah. Padahal seharusnya untuk mengantaskan banjir tersebut pemerintah harus memastikan terlebih dahulu konsep penanganannya. Apakah dengan naturalisasi atau normalisasi.
Dosen Ilmu Metereologi Fakultas Kebumiah Institut Teknologi Bandung (ITB) Edi Riawan mengatakan, beberapa titik banjir di Bandung cenderung unik. Dia mencontohkan banjir Sungai Citartum dan Ciwidey dan Rancaekek pada Mei 2017 lalu, semua banjir disebabkan oleh hal yang sama.
”Kemungkinan besar itu drainase yang bermasalah, jadi air hujan belum sempat ke drainase. Yang di Citarum itu jelas aluvial-nya bermasalah dan sungai tidak bisa menampung lagi,”terang Edi, di Museum Auditorium Geologi, Jalan Diponegoro Nomor 57, Bandung, Minggu (2/2).
Menurutnya, salah satu indikator penyebabnya adalah ada yang bermasalah dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan cekungan Bandung saat ini.
”Sehingga frekuensinya sangat tinggi bahkan dalam setahun begitu sering terjadi,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, saat banjir terjadi hampir selama 31 hari dari Sungai Citarum sampai Balaendah. Padahal sebelumnya tidak sampai satu hari.
”Sekarang banyak kejadian unik, dan itu harus diketahui penyebabnya. Nah ini yang saya mau sampaikan ke masyarakat, ada satu hal yang masih belum kita paham yang tadi hubungannya natural sama kontribusi manusia. Nah bagian ini natural saja kita belum paham, ada yang belum kita pahami tentang naturalnya tentang kondisi alamiah banjir Bandung itu karakteristik hujannya, kok bisa banjir terjadi 31 hari,” terangnya.
Dia mengungkapkan, saat banjir terjadi semakin sering apalagi setiap tahun, maka kemungkinan besar kontribusi dari tutupan lahan penggunaan lahan itu cukup besar.
”Seperti banjir di Balaendah, jadi sebelumnya masih natural karena Baalendah itu cenderung banjir , kemungkinan dampak dari sedikitnya tutupan lahan yang menyerapkan air, semakin sering terjadi dalam setahun bisa terjadi satu hingga lima kali frekuensi banjir,” ungkapnya.
Saat ini, lanjutnyan, frekuensi banjir berbeda dengan itensitas, intesitas berkaitan dengan tinggi banjir. Jika biasanya dua jam, namun kenyataannyan sampai dua hari, maka kemungkinan besar lahan terbuka semakin sedikit. Sehingga saat hujan lebat air yang terserap tanah lamban.