Kendati selama proses mengikuti Inobel Nasional 2019 dia mengaku kurang banyak dukungan. Bahkan, untuk biaya transportasi dan mencetak karya ide itu, dia meminjam uang kepada rekan seprofesi.
“Kalau diceritain berat, sebenarnya sebelum berangkat tidak ada uang sama sekali. Saya sampai ijin ke tukang print untuk bayarnya nanti. Untuk tiket berangkat ke Malang saya pinjam ke teman,” kata dia.
Meski sedikit kecewa kepada dinas pendidikan Kota Bandung. Dede tetap optimis bahwa karya yang dihasilkan itu bisa berguna bagi masa depan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Meski serba kekurangan, Dede tidak pernah mau mengharapkan bantuan dari orang lain. Bahkan, ketika bertugas menjadi guru honerer ke Bandung terpaksa tinggal di sekolah. Namun, berkat kegigihan dan keuletannya di dunia pendidikan, buah kerja kerasnya menorehkan prestasi.
‘’Jadi kalau ditanya penghasilan memang tidak seberapa, kalau kurang tinggal berdoa lagi saja ke Allah,” ujar Dede yang tinggal di rumah kontrakan.
Mengakhiri obrolan dengannya, Dede berpesan kepada seluruh guru honorer bahwa menjadi tenaga pendidik itu adalah tugas mulia. Meski kurang mendapat perhatian tetaplah bekerja untuk masa depan bangsa. Teruslah bertugas dengan ikhlas dan selalu berkarya.
“Buat rekan-rekan se-profesi, Jangan berkecil hati. Jadi guru adalah adalah profesi yang sangat mulia. Membimbing dan mendidik anak-anak untuk masa depan mereka,” tutup Dede mengakhiri. (yan)
JADI MOTIVASI: Dede Suryana menunjukan pamflet simbolis dari penghargaan yang diterima dalam ajang Inovasi Belajar (Inobel) dengan memperoleh predikat pengajar terinovatif tingkat nasional pada 2019 lalu.