JAKARTA – Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, selama 2019 ada enam permasalahan pendidikan yang menjadi sorotan. Beberapa diantaranya, menyangkut persoalan literasi dan masih banyaknya program pemerintah yang belum membawa pada perubahan pendidikan nasional.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji mengatakan, berdasarkan hasil Program Penilaian Pelajar Internasional atau Programme for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menyatakan, kemampuan literasi Indonesia terus merosot.
”Sejak 2012 skor kita merosot terus. Pada 2019 paling parah merosotnya. Bahkan, PISA yang dirilis 2019 tidak lebih baik dari 2015,” kata Ubaid, dilansir dari Fajar Indonesia Network (grup Jabar Ekspres).
Sementara untuk peringkat kemampuan membaca, siswa Indonesia berada di peringkat 75 dari 80 negara atau urutan keenam dari bawah. Indonesia hanya berada di atas Kosovo, Filipina, Lebanon, dan Maroko.
”Kita bahkan masih di bawah Macedonia Utara (baru ganti nama dari Macedonia di tahun ini dan baru merdeka pada 1991) dan Georgia. Jika dibandingkan dengan sesama Asia Tenggara, Indonesia ada di bawah Thailand dan Singapura,” terangnya.
Permasalahan kedua, berdasarkan catatan JPPI, adalah adanya bahan ajar ataupun soal yang diduga terpapar radikalisme. Mengutip dari penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada 2019, sebanyak 59 persen guru muslim mendukung negara Islam.
”Ini indikasi bahwa pemerintah belum tampak serius untuk menghadang radikalisme dan mengutamakan moderasi di sekolah. Maka tak heran jika seringkali ditemukan buku-buku ajar, naskah soal ujian yang menjurus pada paham intoleran,” ujarnya.
Permasalahan selanjutnya adalah kekerasan di dunia pendidikan yang masih terus terjadi. Berdasarkan catatan JPPI ada 253 kasus selama 2019. Dari catatan ini, kekerasan justru banyak dilakukan oleh peserta didik.
”Ini bagian dari potret gagalnya pendidikan karakter di sekolah,” jelasnya.
Selain itu, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) juga menjadi sorotan JPPI. JPPI memandang kekisruhan PPDB di tahun-tahun mendatang berpotensi berulang. Ini karena belum adanya kebijakan di hulu yaitu pemerataan pendidikan.
”Masalah harus diselesaikan, janganlah lari dari masalah. Belum lagi pemerintah daerah yang tak paham apa itu zonasi. Misalnya, pemerintah pusat mengharuskan sistem zonasi, tapi pemerintah daerah membuat program sekolah-sekolah favorit dengan berbagai nama, antara lain sekolah unggulan, sekolah model, sekolah percontohan, dan lain-lain,” jelasnya.