Pilkada langsung memang bukan tanpa masalah, namun di dalamnya terdapat ruang ketika masyarakat bisa memilih dengan pertimbangan-pertimbangan realistis bukan dipengaruhi keterpaksaan.
Menurut dia, salah satu persoalan di Pilkada langsung adalah politik uang sehingga harus dibenahi sehingga pembenahan perlu dilakukan perubahan dalam UU Pilkada. “Pembenahan perlu perubahan UU namun ada yang tidak perlu diubah di UU Pilkada misalnya bagaimana kinerja pihak penyelenggara khususnya pihak yang mengawasi dan penegakan hukum,” ujarnya.
Nafis Gumay mencontohkan terkait politik uang, bukan hal yang tidak bisa dibenahi seperti dari sisi penyelenggara perlu dipastikan bahwa mereka bisa bekerja dengan baik menjalankan perannya.
Hal itu menurut dia agar laporan memenuhi kualitas lalu dapat diproses dan proses pelaporan politik uang dipermudah sehingga masyarakat tidak ragu dan tidak terhalangi laporannya. “Lalu, pihak dan lembaga atau badan yang memproses pelanggaran serta penegakannya harus kerja keras. Karena sebenarnya ada pelanggaran yang sangat serius dan berpotensi membatalkan pencalonan seorang kandidat kepala daerah,” katanya.
Dia juga menilai bagaimana pembatasan penggunaan dana pemilihan yang dikelola kandidat peserta perlu diatasi. Menurut dia, penggunaan uang yang belum ketat dalam Pilkada dimanfaatkan sehingga besar sekali digunakan untuk menang mudah.
Dia setuju dilakukan evaluasi mendalam dan komprehensif terkait pelaksanaan Pilkada langsung namun harus sesuai data, bukan melompat lalu menyederhanakan persoalan lalu mengubah sistemnya. “Kita jangan sampai seperti dokter yang mendiagnosa gejala penyakit namun kita keliru memberi obat. Saya khawatir ini yang terjadi sekarang,” ujarnya.
Terpisah, Akademisi dari Universitas Lampung, Yusdiayanto Alam mengatakan, pilkada asimetris bisa lebih diterima karena tidak menghapus pilkada langsung, dan juga dibuka ruang adanya pemilihan kepala daerah melalui DPRD. “Gagasan Mendagri ini, menurut saya merupakan pemikiran jalan tengah untuk mengakomodir dua kutup wacana antara menghapus pemilu kepala daerah dan mempertahankan pemilu kepala daerah,” kata dia.
Pemerintah melalui Mendagri memunculkan gagasan tentang pilkada asimetris. Sistem ini memungkinkan antara satu daerah dengan daerah lainnya memiliki mekanisme berbeda dalam memilih kepala daerah. Gagasan sistem pilkada asimetris ini karena setiap daerah memiliki kondisi dan kualitas demokrasi yang berbeda.