BANDUNG – Gawai bisa membawa pengaruh negatif terhadap phisikologis anak. Terutama bagi anak balita. Psikolog Klinis dari Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak Dwi Adrianti mengatakan, anak yang mengalami kecanduan gawai bisa menimbulkan prilaku agresif.
“Biasanya ini anak tidak mau sekolah, karena keasyikan main gadget jadi tidur jam 12 malam kemudian disuruh bangun jam 6 pagi. Yang ada kepalanya tidak bisa berfikir karna masih mengantuk,”kata Dwi di Balai Kota Bandung, Selasa (22/10).
“Kita sebagai orang tua harus memberi pola asuh dengan anak. Ketika anak tidak menyambut ketika kita pulang kerja dan tidak mengajak komunikasi, harusnya kita lebih khawatir,”lanjutnya.
Menurutnya, saat ini banyak orang tua yang menjadikan gawai sebagai baby sitter anak. Sehingga mengakibatkan anak mengalami keterlambatan berbicara.
“Ketika anak usia 2 tahun tidak bisa bicara karena Anak di biarkan bicara dengan gawai, tidak di ajak komunikasi oleh orang tua. Harus nya anak usia 2 tahun sudah menguasai 1000 lebih kata,”jelasnya.
Selain berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, radiasi yang dipancarkan oleh gawai tidak hanya memberi efek terhadap otak namun juga ke tubuh.
Menurutnya, seorang anak idealnya baru bisa di berikan gawai ketika mereka sudah menginjak usia minimal 14 Tahun. Sebab pada usia tersebut anak sudah bisa menguasai dirinya sendiri.
Sementara itu, Pengelola Program Keswa Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Endang Pregiwatiningsih mengatakan, di Kota Bandung terdapat 91 kasus anak mengalami gangguan sakit jiwa usia 5-12 Tahun.
Dari 91 tersebut masih bersifat global dan kemungkinan besar dampak dari gadget, hanya saja belum ada data spesifik.
“Terhitung sejak Januari-Juli 2019. Data tersebut baru yang terlapor, namun itu dari berbagai faktor, dan salah satunya gadget,”paparnya.
Dinkes sendiri sudah menjalankan program sebagai upaya untuk mencegah penyakit psikis pada anak, yaitu dengan melakukan upaya promotif, prefentif, dan kuantif.
“Upaya promotif dilakukan saat di posyandu dengan memberikan penyuluhan melalui edukasi mengenai kesehatan mental kepada masyarakat,”jelasnya.
“Usaha prefentif yaitu program SDITK (Stimulus Deteksi dan Interpensi dini Tumbuh Kembang anak) dilakukan di puskesmas dan posyandu. Kemudian kami punya program Screening kesehatan di Sekolah yang sering dilakukan pada awal tahun ajaran baru, bukan hanya kesehatan fisik namun kesehatan psikis,”paparnya. (mg2/yan).