NGAMPRAH– Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bandung Barat (KBB) mengakui jika sampai saat ini masih banyak pihak yang tidak bertanggung jawab dalam membuang limbah pabrik ke aliran Sungai Citarum. Hal itu tak terlepas dari sorotan Internasional bahkan menyandang predikat sebagai sungai terkotor ketiga di dunia pada 2013 lalu.
Sungai Citarum yang memiliki panjang 269 kilometer itu, disandingkan dengan kawasan paling tercemar di dunia, yaitu Agbogbloshie, gunung sampah elektronik di Ghana, serta Chernobyl kota mati akibat radiasi nuklir di Rusia.
Kepala DLH KBB, Apung Hadiat Purwoko mengatakan, pencemaran Sungai Citarum selain karena belum sadarnya masyarakat yang masih membuang sampah serta limbah rumah tangga lainnya, banyak pula pabrik yang membuang limbahnya ke aliran sungai secara sembunyi-sembunyi.
“Memang dengan adanya Satgas Citarum, kami lebih terbantu, tapi pengelola pabrik ini selalu kucing-kucingan saat membuang limbah kotor. Biasanya mereka membuang limbah saat malam hari,” kata Apung di, Ngamprah, Jumat (18/10).
Masih banyaknya aktivitas pabrik yang merusak ekosistem air Sungai Citarum, menurut Apung, karena masih kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) untuk melakukan pengawasan terhadap pabrik-pabrik nakal tersebut.
“Apalagi tidak adanya Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) di DLH Kabupaten Bandung Barat, menjadi satu kendala kurang optimalnya pengawasan. Untuk melakukan pengawasan kami juga kekurangan sarana dan prasarananya, padahal di Bandung Barat ada 70 pabrik yang harus kami pantau,” ungkapnya.
Penanganan masalah pencemaran Sungai Citarum bukan kali ini saja. Sejak 1989 melalui Program Kali Bersih (Prokasih) penanganan persoalan Citarum sudah mulai dilakukan. Begitupun program Pemprov Jabar, Citarum Bersih, Geulis, Lestari (Citarum Bergetar) diberlakukan, namun kedua program ini tidak optimal.
Hingga pada 2008, Pemerintah Pusat menyepakati tawaran dari Asian Development Bank (ADM) dengan biaya pinjaman sebesar Rp 6,7 triliun, untuk pelaksanaan program Citarum Terpadu yang akhirnya pun tidak optimal bahkan biayanya menjadi membengkak hingga menghabiskan anggaran Rp 9,1 triliun.
Program Pemprov Jabar pada 2013, Citarum Bestari pun tidak optimal. Hingga terbitlah Perpres Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum.