Kejadian komisaris memecat direksi seperti itu sangat sering terjadi. Terutama di bidang kerjasama dunia usaha.
Pemilik tidak puas dengan manajemen –yang di tangan orang lain.
Manajemen juga tidak puas dengan pemilik.
Penyebab tidak puasnya saya tidak tahu.
Biasanya soal uang. Soal pembukuan. Juga soal gengsi.
Konflik pun menjadi terbuka. Meski masih satu arah. Baru ketidakpuasan pihak Garuda yang tersiar. Pemilik Sriwijaya lebih banyak diam –tapi keras.
Itu yang membuat Citilink menggugat ke pengadilan –25 September lalu.
Sriwijaya dianggap melanggar perjanjian. Terutama pasal ini: direksi harus ditetapkan dari orang yang diseleksi pihak Garuda.
Tapi tanggal 6 September lalu tiba-tiba saja komisaris Sriwijaya mengeluarkan surat. Isinya: memberhentikan Direktur Utama dan dua direktur lainnya.
Lalu mengangkat direktur utama baru. Di luar pengetahuan Garuda.
Garuda memanggil pemegang saham Sriwijaya. Yang masih sepenuhnya di tangan keluarga Chandra Lie.
Yang dipanggil tidak mau datang.
Akibat konflik ini GMF tidak mau lagi memelihara pesawat Sriwijaya. Dari 30 pesawat tinggal 12 yang layak terbang. Itu pun akan berkurang lagi.
Sriwijaya terancam sanksi pemerintah: tidak boleh terbang.
Dua direksi Sriwijaya pun mengundurkan diri. Tidak mau ikut bertanggungjawab atas kondisi pesawat yang tidak layak terbang.
Urusan ini pun berkembang. Dari urusan bisnis ke urusan politik. Seolah pindah menjadi urusan pemerintah.
Yang disebut terakhir itu pun turun tangan. Alasannya: kalau Sriwijaya sampai berhenti operasi dianggap menambah buruk iklim ekonomi Indonesia.
Garuda pun memerintahkan Citilink untuk mencabut gugatan.
GMF juga diperintahkan untuk kembali memelihara pesawat Sriwijaya.
Sriwijaya-Garuda rujuk kembali.
Kerjasama diteruskan.
Tapi banyak yang masih belum jelas.
Apakah direksi yang dicopot akan dikembalikan?
Apakah tagihan tidak kian besar?
Begitu banyak pertanyaan yang masih sulit terjawab.
Urusan bisnis biasa ini pun menjadi urusan pertanyaan.(Dahlan Iskan)