JAKARTA – Upaya melarang mantan koruptor maju Pilkada 2020 harus disetujui semua pihak. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memiliki dasar hukum kuat jika ingin memberlakukannya. Namun, lembaga penyelenggara pemilu itu tidak memiliki wewenang melarang eks koruptor ikut pemilu. Sebab UU bukan domain KPU. Pemerintah dan legislatif harus ikut campur jika menginginkan pemimpin yang bersih dari korupsi.
“Bukan domain KPU melarang eks koruptor maju pilkada. Itu domain Undang-Undang. Kalau UU bilang dilarang, ya dilarang. Tapi kalau UU bilang tidak dilarang ya jangan dong. Kalau maunya dilarang, harus bikin UU-nya dulu,” tegas Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (31/7).
Dia meminta KPU bersabar dan tidak membuat ketentuan yang membatasi hak warga negara. Menurut Fahri, KPU melanggar konstitusi apabila membuat aturan larangan eks koruptor maju Pilkada hanya dengan PKPU. KPU, lanjutnya, tidak berhak melakukannya. “Kalau itu dilakukan melanggar konstitusi. Sudah jelas konstitusi mengatur jika mau merampas hak orang harus pakai Undang-Undang. Jangan merampas hak orang pakai PKPU. Nggak bisa seperti itu. KPU nggak punya hak,” jelasnya.
Sebelumnya, KPU menilai tak cukup dengan mengubah Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan untuk melarang eks koruptor maju di Pilkada Serentak 2020. KPU berharap ada revisi UU Pilkada. Jika UU belum bisa direvisi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dinilai kuat sebagai terobosan.
Pengamat Politik Emrus Sihombing mengatakan, sebenarnya tidak perlu repot untuk mengeluarkan aturan. Jika memang menginginkan pemimpin bersih, partai politik harusnya memiliki komitmen bersama. Berkaca pada pemilihan legislatif 2019 lalu, masih banyak parpol yang mencalonkan mantan koruptor. Partai lebih tahu siapa calon yang akan diusungnya. Hanya saja, masalah modal termasuk finansial menjadi faktor utama kenapa banyak mantan koruptor masih maju dalam pemilu. “Pertama mereka memiliki kemampuan secara finansial. Kedua, mereka juga kuat di internal partai. Inilah kenapa mereka tetap diusung,” ujar Emrus.
Menurutnya, ide larangan tersebut juga berdasarkan keinginan masyarakat yang ingin memilih pemimpin berlatar belakang baik. KPU, lanjutnya, mendukung dan akan kembali memasukkan larangan tersebut dalam Pilkada 2020. Namun, dia meminta seluruh stakeholder pemilu ikut mendukung aturan tersebut.