Ria terus saja pingsan-pingsan. Suaminya membelikannya tabung oxygen. Setiap pingsan diberi oxygen. “Ini nyawanya dik Ria,” ujar Dani, sang suami. Sambil menunjuk tabung oxygen. Yang tiap tiga hari harus diisi.
Tentu Dani juga menelepon ke rumah sakit Surabaya. Beberapa kali. Jawabnya sama: belum ada jadwal operasi untuk Ria. Tunggu saja. Akan ditelpon.
Mereka tahu penerima telpon di Surabaya juga sangat sibuk. Mereka sudah bisa membayangkan betapa hiruk-pikuknya rumah sakit besar. Apalagi di bagian BPJS. Mungkin tidak ada waktu untuk menelepon. Mereka khawatir kelewatan giliran. Maka mereka pun kembali ke Surabaya. Jawabnya masih sama: belum ada tanggal giliran.
Balik lagi ke desa.
Balik lagi pingsan-pingsan.
Hari itu pingsannya lebih lama. Lebih setengah jam. Keluarga panik. Lalu menghubungi saya. Saya pun memutuskan pulang ke Surabaya. “Sesekali menolong keluarga sendiri,” kata hati saya.
Kepada saya Ria menegaskan sikapnya. “Saya tidak mau menyerobot antrean,” ujar Ria. “Saya berdosa kalau yang saya serobot meninggal sebelum saya,” katanya.
Setuju.
Saya juga tidak punya niat menyerobot antrean. Saya akan carikan jalan lain. Dan yang utama saya harus tahu: seberapa serius problem jantungnya. Kok sudah pingsan-pingsan begitu lama masih bisa bertahan.
Saya pun bertemu dokter ahli jantung: Heroe Subroto. Yang keahlian utamanya adalah bedah jantung anak-anak. Rekornya: mengoperasi jantung bayi berumur 3 minggu.
Dokter Heroe ingat saya. Ia pernah ke RS Tianjin. Untuk mempelajari transplant hati di sana. Bersama beberapa dokter lain dari Surabaya.
Setelah membaca berkas pemeriksaan RS Madiun dokter Heroe mengambil kertas. Untuk menggambar jantung.
Jantung Ria memang bocor. Antara bilik kiri dan bilik kanan. Tapi penjelasannya itu membuat saya agak tenang. Saya berkesimpulan Ria tidak akan mati mendadak. Tidak seperti penderita serangan jantung.
Bocornya sekat itu membuat darah dari bilik satu mengalir ke bilik lain. Tapi karena perbedaan tekanan maka darah dari bilik kiri lah yang masuk ke bilik kanan.