Difa Bike, Layanan Transportasi Difabel untuk Difabel

Ternyata kemampuannya mengerjakan soal setara dengan siswa kelas V SD. “Tapi, kata ibu saya kelas III saja. Nama kamu kan Triyono, kelas III saja,” ungkapnya, lantas tersenyum.

Perjalanan pendidikannya lancar hingga lulus kuliah dan berwirausaha di bidang peternakan, resto, serta pengolahan susu, Dengan omzet miliaran rupiah.

Sebelumnya, dalam menjalankan usaha, Tri­yono tidak pernah melibatkan difabel. “Akhirnya saya mencoba melibatkan dua orang difabel,” ungkap Triyono sambil menggerak-gerakkan kakinya yang dibalut besi penyangga.

Sampai sejauh itu, Triyono mengaku tak pernah benar-benar mengetahui problem yang dihadapi sesame difabel. Mungkin karena sepanjang hidupnya, Triyono tak menganggap kondisi fisiknya sebagai kekurangan. Apalagi, semangat belajarnya sangat tinggi.

Sampai kemudian, dia salat di sebuah masjid di Sleman, Jogjakarta, suatu hari pada 2014. Di sana dia bertemu dengan seorang difabel yang sembari menangis menceritakan permasalahan terkait kesulitan dalam hal mobilitas.

Rupanya, itu benar-benar menggugah Triyono. Muncullah ide transportasi untuk difabel. Sebab, dia merasa miris dengan kondisi penyandang disabilitas yang aksesnya terbatas untuk ke mana-mana. “Gimana mau maju, gerak saja susah,” ungkapnya.

Diluncurkanlah Difa Bike bertepatan dengan Hari Difabel Internasional empat tahun silam. Ada ratusan penyandang disabilitas yang sebenarnya berminat menjadi driver. Akhirnya yang dipilih yang memenuhi persyaratan berupa kemampuan geraknya minimal 70 persen.

Sugiyono bersyukur sekali termasuk yang terpilih. Sebab, pria yang tangan kanannya lumpuh akibat polio itu sudah merasakan betul sulitnya mendapat pekerjaan.

“Dulu saya angon bebek karena ditolak kerja di mana-mana,” kenangnya.

Karena kondisi fisiknya, motor dimodifikasi dengan mengganti gas motor. Dari tadinya di kanan menjadi di kiri.

Tak seperti layanan ojek daring lain, yang setelah mengantar lalu langsung meninggalkan penumpang, driver Difa Bike seperti Sugiyono harus menunggu sampai si penumpang pulang. Sebab, kalau tidak demikian, si penumpang yang umumnya difabel itu bisa dipastikan bakal sulit mendapatkan layanan transportasi lain.

Karena itu, dalam satu hari driver Difa Bike maksimal hanya bisa melayani dua penumpang. Sebab, dibutuhkan waktu lama untuk mengantar bolak-balik. “Kami ini ada hubungan emosional dengan penumpang. Saling mengenal, sudah seperti keluarga,” ungkap Sugiyono.

Tinggalkan Balasan