JAKARTA – Dipastikan tak ada lagi warga negara asing (WNA) pemilik KTP elektronik yang masuk dalam daftar pemilih tetap hasil perbaikan 2 pada pemilu 2019.
“WNA (warga negara asing) tidak bisa memilih pada pemilu meskipun memiliki KTPE,” kata Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, pada diskusi “Menjamin Legitimasi Pemilu” di Kantor Kementerian Kominfo, di Jakarta, Senin (11/3).
Menurut dia, dalam UU Nomor 7/2017 mengatur bahwa pemilih dalam pemilu adalah warga negara Indonesia (WNI), sehingga penduduk Indonesia yang bukan WNI tidak bisa memilih atau tidak memiliki hak pilih.
Wahyu Setiawan mengakui, ada WNA yang mendapat izin tinggal tetap di Indonesia sehingga memiliki KTPE, jumlahnya sebanyak 101 orang. “Mereka sebagian besar adalah warga negara Malaysia dan Filipina. KPU sudah melakukan survei terhadap WNA yang memiliki KTP. Namun, meskipun mereka memiliki KTP tapi tidak memiliki hak memilih atau dipilih di Indonesia,” katanya.
Wahyu menegaskan, kalau ada WNA pemilik KTPE yang masuk dalam DPT maka KPU akan mencoretnya.
Sementara itu, Komisioner Badan Pengawas Pemilu, Muhammad Afifuddin, menambahkan, Bawaslu terus mendorong agar WNA tidak ada yang masuk dalam daftar pemilih tetap hasil perbaikan 2 (DPTHP2).
Menurut dia, Badan Pengawas Pemilu dan KPU dalam sepekan terakhir terus melakukan koordinasi untuk menyisir DPT hasil perbaikan guna mencari kalau ada WNA pemilik KTP elektronik yang masuk dalam DPTHP2.
Badan Pengawas Pemilu, kata dia, juga menemukan ada pemilih di Lampung yang memiliki dua KTP elektronik dengan dua alamat. “Ini harus dibersihkan dari DPT,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Soedarmo, mengatakan, mengakui ada atuarn yang mengatur WNA yang memeuni syarat tertentu mendapat izin tinggal tetap di Indonesia, sehingga memiliki KTP elektronik.
“Namun, KTP elektronik untuk orang asing, berbeda dengan KTP elektronik untuk WNI. Kalau kepemilikan KTP elektronik untuk orang asing saat ini menjadi isu yang sentitif, nanti akan saya usulkan kepada Dirjen Administrasi Kependudukan untuk merubahnya, misalnya soal namanya atau warnanya, sehingga lebih mudah dibedakan dan tidak menjadi isu sensitif,” katanya. (ant/fin)