JAKARTA – Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah angkat bicara terkait hasil Musyawara Nasional (munas) Nahdatul Ulama (NU), yang membahas tentang larangan menggunakan kata kafir untuk non muslim.
Menurut Fahri, istilah Kafir dalam Alqur’an tidak bisa diamandemenkan, sebab itu merupakan wahyu Tuhan. Namun, jika kata Kafir ada dalam Konstitusi dan Undang-Undang (UU), maka bisa diamandemenkan, sebab UU merupakan buatan manusia.
” Iman tidak bisa diamandemenkan, kata “Kafir” itu istilah dalam kitab Suci, gak bisa diamandemen, itu wahyu Ilahi. Tapi jika ada kata kafir dalam konstitusi dan UU, mari kita amandemen, itu buatan manusia. Katanya kita disuruh jangan campur agama dan politik. Beginian aja gak bisa dicerna.” Kata Fahri Hamzah lewat rilisnya yang diterima FIN di Jakarta.
Fahri heran, hanya kata Kafir di Islam yang dipermasalahkan. Namun di agama lain tidak dipermasalahkan. Padahal kata dia, semua agama memiliki kata kafir untuk menyebut orang lain diluar agamanya.
“Kenapa yang jadi korban hanya agama Islam? Kenapa Alquran yang dipersoalkan? Susah bangat mau jadi orang Islam. Kalau oleh konsep iman agama lain saya disebut kafir ya terima saja. Memang kenapa kalau kafir?” tegasnya.
Lebih jauh, politisi asal NTB ini menilai, kedewasaan berwarganegara dan toleransi itu ditentukan oleh kemampuan untuk mencerna perbedaan konsep dalam iman.
“Ini malah toleransi mau merasuk pada perubahan konsep iman. Lah apa hak kita mengubah konsep iman? Nabi aja gak boleh. Heran saya. Ini kan sederhana,” katanya.
Ia berharap . Semoga ke depan lahir generasi yang percaya diri dari pesantren dan sekolah-sekolah agama. Sehingga bisa menegakkan agama dan negara.
Fahri mengatakan, harusnya warga negara didewasakan untuk menerima konsep iman yang beragam. Toleransi pada perbedaan, lanjut dia, adalah syarat kewarganegaraan. Agama tidak perlu diamandemen sebab ia telah didisain untuk mengelola perbedaan.
“Jangan sekali-kali ada majelis duduk untuk saling merevisi iman. Itu sakit jiwa namanya. Santai aja, mari kita berlomba menemukan cara untuk saling menikmati perbedaan. Masa menerima “Kafir” aja gak sanggup?. Dewasalah bangsaku”. Tutupnya. (dal/fin)